Pengamat Sebut Program Pengentasan Kemiskinan di Jakarta Inkonsisten

Sabtu 26 Jul 2025, 14:39 WIB
Ilustrasi kemiskinan di Jakarta. BPS menyebut jumlah penduduk miskin di Jakarta naik pada 2025 ini. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

Ilustrasi kemiskinan di Jakarta. BPS menyebut jumlah penduduk miskin di Jakarta naik pada 2025 ini. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah, menilai bahwa program pengentasan kemiskinan di Jakarta hingga saat ini belum berjalan optimal.

Pendapat itu, disampaikan Trubus sebagai tanggapan atas data BPS DKI Jakarta yang menyebut, kemiskinan di Jakarta mengalami peningkatan 0,14 persen pada tahun 2025 dibanding tahun lalu.

Ia menyebut inkonsistensi kebijakan dan kurangnya arah yang jelas dari pemerintah sebagai penyebab utama masih tingginya angka kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem di ibu kota.

"Program pengendalian urbanisasi belum optimal karena masih banyak pendatang yang datang ke Jakarta tanpa bekal kemampuan dan pendidikan yang memadai, sebagian hanya lulusan SD hingga SMA," ujar Trubus saat dihubungi Poskota, Sabtu, 26 Juli 2025.

Menurutnya, berbagai pergantian kepemimpinan sejak era Gubernur Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan, hingga para Penjabat (Pj) seperti Heru Budi Hartono dan Teguh Setyabudi, belum menghadirkan kebijakan yang konsisten dalam menangani kemiskinan.

Baca Juga: DPRD Minta Pengentasan Kemiskinan di Jakarta Harus Menyentuh Akar Masalah

“Program pengentasan kemiskinan itu cenderung tidak tercapai targetnya. Inkonsisten. Fokusnya berubah-ubah, dan kebijakan tidak terarah,” ucap Trubus

Trubus juga menyoroti alokasi anggaran yang menurutnya tidak berpihak pada penanggulangan kemiskinan secara menyeluruh.

“Dengan APBD yang nyaris mencapai ratusan triliun rupiah, seharusnya masalah kemiskinan bisa lebih tertangani," kata Trubus.

"Tapi yang terjadi, anggaran banyak diarahkan ke proyek infrastruktur seperti revitalisasi kawasan Thamrin-Sudirman, sementara wilayah-wilayah pinggiran justru luput dari perhatian,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Trubus menilai bahwa pemerintah kota tidak mengenal kondisi riil masyarakat yang tinggal di kawasan pinggiran, dan konsep kota aglomerasi turut memperumit penanganan masalah sosial.

“Masyarakat yang tinggal di luar Jakarta tapi bekerja di Jakarta, seperti dari Depok, Bekasi, atau Tangerang, membuat data dan kebijakan menjadi tidak jelas. Belum lagi masalah harga pangan yang mahal, yang memperparah kondisi masyarakat berpenghasilan rendah,” ucap Trubus. (CR-4)


Berita Terkait


News Update