POSKOTA.CO.ID - Sound horeg adalah sistem audio bertenaga tinggi yang menghasilkan suara keras dan dentuman bass ekstrem. Biasanya digunakan dalam hajatan, khitanan, pawai, hingga pesta rakyat.
Sistem ini melibatkan tumpukan speaker besar yang diangkut truk atau pick-up, dihiasi lampu warna-warni dan musik dangdut remix yang menggema hingga radius 7 km.
Istilah “horeg” sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti “bergerak” atau “bergetar”, mencerminkan dampak audio yang dapat mengguncang tanah dan dinding rumah warga.
Baca Juga: Gaji Karyawan PT Agro Raya Mas Berapa? Disorot Usai Kebakaran Hebat di Pabrik CPO Medan
Evolusi dari Tradisi ke Tren Populer
Fenomena ini bukan sekadar bentuk hiburan baru, melainkan evolusi dari penggunaan pengeras suara tradisional yang dulu dipakai untuk selawatan atau pengumuman hajatan. Sekitar tahun 2014, di Malang, penggunaan sistem audio ini bergeser menjadi pertunjukan jalanan yang melibatkan parade musik dan tarian, seperti jaranan dan breakbeat remix.
Kebangkitan sound horeg pasca pandemi menjadi pelampiasan atas kerinduan masyarakat terhadap hiburan terbuka. Dengan minimnya akses ke pusat hiburan modern, masyarakat desa justru mengembangkan bentuk baru hiburan berbasis lokal dan komunitas.
Lahirnya Budaya “Battle Sound”
Komunitas-komunitas seperti Faskho Sengox, BJ Hunter, dan Brewog Audio berperan penting dalam membentuk budaya “adu sound”. Battle sound menjadi ajang unjuk gigi kualitas audio, modifikasi kendaraan, dan inovasi tata cahaya. Masing-masing komunitas berlomba memproduksi dentuman paling dalam dan audio paling jernih di antara kerumunan penonton.
Semangat kompetitif ini, meski terlihat meriah, menunjukkan bagaimana masyarakat mampu menciptakan ekosistem hiburan yang murah, inklusif, dan berbasis solidaritas lokal.
Sosok Edi Sound: “Thomas Alva Edisound” dari Blitar
Di balik sorotan speaker dan lampu strobo, nama Edi Sound alias SAMmemed mendadak viral. Ia dikenal sebagai operator legendaris Brewog Audio, komunitas sound system asal Blitar. Lewat akun TikTok @memed_potensio, Edi terlihat mengatur mixer dengan ekspresi serius, wajah letih, dan mata sembab, menciptakan nuansa yang sekaligus epik dan lucu.
Julukan “Thomas Alva Edisound” disematkan netizen sebagai plesetan dari nama penemu lampu pijar, Thomas Alva Edison—menandai kontribusi nyentrik Edi dalam menciptakan suara yang mampu mengguncang satu desa.
Di tengah geliat industri hiburan formal yang sering eksklusif dan mahal, sound horeg menyajikan potret lain: kerja kolektif, semangat lokal, dan ketulusan pengabdian pada kesenangan sederhana.
Sosok Edi Sound, dengan jam kerja tak kenal waktu dan stamina luar biasa, mencerminkan bagaimana bentuk hiburan rakyat tidak muncul dari institusi besar, melainkan dari keringat dan passion warga biasa.
Netizen menyebut wajah Edi seperti "orang yang begadang tujuh malam tanpa tidur demi dentuman bass." Ini bukan sekadar guyonan, tapi bentuk penghormatan terhadap semangat di balik sistem audio jalanan yang kini menjadi tren nasional.
Kontroversi dan Dampak Sosial
Di balik kemeriahan, muncul pula bayang-bayang keluhan. Suara di atas 135 desibel tergolong berbahaya bagi pendengaran. Menurut Dr. Tri Juda Airlangga, spesialis THT RSCM Jakarta, paparan suara ekstrem dapat menyebabkan tinnitus, gangguan tidur, stres, bahkan risiko jantung.
Tak hanya itu, getaran fisik dari bass ekstrem merusak kaca jendela rumah dan bahkan infrastruktur seperti jembatan. Di Demak, warga dilaporkan merusak jembatan agar truk sound horeg bisa lewat. Di Malang, kaca rumah retak karena sound horeg. Kasus paling tragis terjadi pada 2023, ketika seorang siswa SMP tewas tertimpa speaker.
Fatwa Haram dan Batas Moral
Puncak kontroversi muncul dari keputusan Bahtsul Masail di Pesantren Raudlatul Ulum Pasuruan, 26-27 Juni 2025. Forum ulama menyatakan bahwa sound horeg haram secara mutlak, bukan karena musiknya, tetapi karena dampak sosialnya: mengganggu ketenangan, memicu kerusakan, dan menampilkan tarian tak sesuai norma Islam.
MUI Jawa Timur kemudian menerbitkan Fatwa Nomor 1/2025, yang menyatakan bahwa sound horeg boleh digunakan hanya jika volumenya wajar, dan digunakan untuk acara positif seperti pengajian atau kegiatan sosial.
Baca Juga: Berani Ubah Pola Pikir? Ini Cara Keluar dari Mental Miskin ala Timothy Ronald
Edi Sound: Simbol Dua Wajah Inovasi
Menariknya, fenomena Edi Sound memperlihatkan dua wajah inovasi rakyat. Di satu sisi, ia simbol kebanggaan lokal dan rekayasa budaya rakyat. Di sisi lain, ia menjadi ikon kontroversi, dibayangi fatwa dan risiko kesehatan.
Namun, mungkin di situlah letak kekuatan fenomena ini: ia bukan produk industri, tapi karya rakyat. Dari desa ke desa, dari TikTok ke jagat meme, Edi Sound menunjukkan bahwa kreativitas bisa bersuara keras, bahkan terlalu keras.
Fenomena sound horeg bukan hanya tentang suara keras dan pesta malam. Ini adalah cermin dari dinamika sosial, ekspresi budaya, dan ketegangan antara hiburan rakyat dan norma sosial. Sosok seperti Edi Sound menjadi wajah dari kegigihan lokal yang kini mendapat panggung nasional.
Ke depan, pertanyaan pentingnya bukan hanya apakah sound horeg haram atau tidak, tetapi bagaimana kita bisa mengakomodasi semangat komunitas dengan tetap menjaga ketenangan dan keselamatan bersama.
Ringkasan Poin Utama:
- Sound horeg adalah sistem audio ekstrem yang berasal dari Jawa Timur.
- Viral karena komunitas seperti Brewog Audio dan figur seperti Edi Sound.
- Menjadi bentuk hiburan rakyat yang unik, murah, dan kolektif.
- Dikecam karena polusi suara, risiko kesehatan, hingga fatwa haram MUI Jatim.
- Edi Sound, dengan ekspresi letih dan keterampilannya, menjadi ikon budaya populer.
- Tantangan ke depan: menjaga kreativitas tanpa mengorbankan kesehatan dan ketenangan masyarakat.