Apakah ini murni kesalahpahaman protokoler? Ataukah refleksi dari budaya birokrasi yang masih terbiasa mem-filter informasi secara ketat?
Ketika Sorotan Publik Menjadi Beban Pribadi
Dampak viralitas bukan hanya soal atensi, tapi juga potensi tekanan psikologis. Seorang individu yang sebelumnya tidak dikenal publik bisa mengalami cyberbullying, intimidasi, bahkan doxing (penyebaran data pribadi).
Dalam kasus Senja, sebagian warganet menyayangkan tindakan yang dianggap tidak profesional, namun sebagian lain meminta publik untuk tidak menggiring opini ke arah persekusi.
Netizen yang lebih bijak mengajak untuk menunggu klarifikasi resmi, bukan menghakimi seseorang hanya dari satu potongan video berdurasi singkat.
Tanggapan Gubernur Rudi Mas'ud
Meski belum ada pernyataan resmi secara langsung mengenai insiden intervensi ini, Gubernur Rudi Mas’ud sebelumnya telah dikenal aktif di media sosial dan konten video. Bahkan, ia sempat dijuluki “Gubernur Konten” oleh publik.
Beberapa media mencoba menghubungkan gaya komunikasi Gubernur yang populis dengan keberadaan aspri seperti Senja yang dianggap memiliki kontrol terhadap momen publikasi. Namun hingga kini, belum ada klarifikasi langsung mengenai tugas-tugas resmi Senja dalam struktur Pemprov Kaltim.
Kebebasan Pers dan Protokol Pejabat: Dua Hal yang Harus Sejalan
Insiden ini menyoroti satu isu penting dalam demokrasi: relasi antara pejabat publik dan kebebasan pers. Jurnalis memiliki hak untuk bertanya, dan pejabat publik memiliki kewajiban menjawab, khususnya pada isu-isu yang menyangkut publik.
Meskipun protokoler memang memiliki batas waktu, metode komunikasi yang dilakukan seharusnya tetap menjunjung etika, bukan mengancam atau menyudutkan jurnalis.
Sebaliknya, pers juga perlu memahami dinamika lapangan, menjaga etika bertanya, dan tidak memaksakan informasi dalam waktu yang tidak tepat. Namun tindakan seperti "tandai saja" tidak dapat dibenarkan dalam konteks profesional.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Ini?
Dari insiden viral ini, ada beberapa pelajaran penting:
- Etika komunikasi pejabat publik dan tim pendamping harus ditata ulang, agar tidak menimbulkan persepsi intimidatif.
- Transparansi komunikasi antara pemerintah dan media menjadi kunci membangun kepercayaan publik.
- Privasi individu tetap harus dihormati, bahkan ketika mereka menjadi sorotan karena peran profesionalnya.
Kisah Senja Fithrani Borgin mencerminkan kompleksitas dalam ruang kerja pejabat publik. Ia bukan hanya soal viralitas, tapi juga tentang bagaimana komunikasi kekuasaan dijalankan, dan bagaimana media sosial membentuk opini secara cepat, terkadang tanpa ruang klarifikasi.