POSKOTA.CO.ID - Thomas Trikasih Lembong, yang dikenal luas sebagai ekonom progresif dan mantan Menteri Perdagangan RI pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama, kini menghadapi kenyataan pahit vonis penjara selama 4 tahun dan 6 bulan.
Ia dinyatakan bersalah dalam kasus impor gula kristal mentah yang terjadi saat dirinya menjabat sebagai menteri pada tahun 2015–2016.
Vonis yang dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat, 18 Juli 2025, ini menandai titik balik dramatis bagi figur yang sebelumnya dikenal bersih, teknokratis, dan pro-pasar.
Lebih dari sekadar putusan hukum, kasus ini membuka ruang diskusi tentang ketegangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial dalam pengambilan kebijakan publik.
Baca Juga: Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun, Ini 4 Pernyataan Penting dari Anies Baswedan
4 Hal yang Memberatkan Vonis Tom Lembong
Majelis hakim yang dipimpin Dennie Arsan Fatrika menguraikan empat alasan utama yang memberatkan vonis terhadap Tom:
1. Mengedepankan Ekonomi Kapitalis Ketimbang Pancasila
Menurut hakim, Tom Lembong lebih mengutamakan pendekatan kapitalistik dalam kebijakan stabilisasi gula. Kebijakan tersebut dinilai mengabaikan prinsip demokrasi ekonomi dan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan sistem ekonomi Pancasila.
“Lebih mengedepankan ekonomi kapitalis, dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem Pancasila berdasarkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial,” demikian bunyi pertimbangan hakim.
Ini menjadi kritik fundamental atas pendekatan teknokratis Tom yang sering dianggap terlalu pro-pasar, walau tujuan akhirnya diklaim demi efisiensi dan stabilitas.
2. Mengabaikan Kepastian dan Supremasi Hukum
Tom dinilai tidak menjalankan asas kepastian hukum saat mengambil kebijakan impor. Dalam pandangan hakim, ia tidak mendasarkan keputusan pada ketentuan hukum yang berlaku saat itu. Hal ini dianggap bentuk kelalaian dalam tata kelola pemerintahan yang baik.
3. Tidak Akuntabel, Tidak Adil
Putusan juga menyebutkan bahwa Tom tidak menjalankan tugasnya secara akuntabel dan adil, khususnya dalam menjamin stabilitas harga gula agar tetap terjangkau oleh masyarakat luas. Padahal, prinsip keadilan dalam distribusi bahan pokok adalah pilar utama kebijakan sosial negara.
4. Mengabaikan Kepentingan Konsumen
Hakim menyebutkan bahwa Tom telah mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai konsumen akhir. Harga gula kristal putih sempat melonjak akibat kebijakan tersebut, berdampak langsung pada daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.
Isi Amar Putusan: Hukuman dan Denda
Selain hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan, Tom Lembong juga dijatuhi denda sebesar Rp 750 juta. Jika tidak dibayar, ia akan dikenakan tambahan hukuman penjara selama 6 bulan.
Majelis hakim menyatakan Tom terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan 21 izin impor (PI) gula kristal mentah untuk perusahaan swasta.
Rangkuman Singkat
- Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula karena dinilai:
- Lebih mengedepankan kapitalisme dibanding ekonomi Pancasila.
- Tidak menjunjung kepastian hukum.
- Tidak akuntabel dan adil dalam kebijakan gula.
- Mengabaikan kepentingan konsumen.
- Ia juga dikenakan denda Rp 750 juta, subsider 6 bulan penjara.
- Kasus ini membuka diskusi luas soal etika kebijakan publik dan dampaknya terhadap rakyat kecil.
Dari sudut pandang kemanusiaan dan moral kebijakan, kasus Tom Lembong menggambarkan kompleksitas menjadi pejabat publik di era pasar bebas. Di satu sisi, ia berupaya menjaga pasokan gula dan stabilitas harga. Namun, di sisi lain, pendekatannya dianggap mengabaikan prinsip keadilan sosial.
Banyak kalangan melihat bahwa Tom menjalankan peran dengan niat baik untuk efisiensi pasar. Namun, niat baik tidak selalu cukup dalam ranah kebijakan publik yang menyangkut hak dasar rakyat, terutama pangan.
Baca Juga: Ingin Finansial Stabil? Terapkan 3 Prinsip Investasi ala Timothy Ronald
Ferry Irwandi: Sungguh di Luar Akal Sehat yang Paling Sakit Sekalipun
Mengutip dari Instagram @irwandyferry, salah satu influencer founder dari Malaka Project pun ikut mengkrtitik soal putusan hakim tersebut dalam akun instagram pribadinya.
"Beliau ditangkap kejaksaan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi,Hakim tahu beliau tidak ada niat jahat, tidak ada keuntungan pribadi yang diambil, tidak ditemukan aliran dana, impor dilakukan karena kebutuhan industri mendesak, keputusan impor ternyata dianggap tidak mempengaruhi stabilitas harga dan dia dipenjara 4,5 tahun! Alasan lain adalah dia dianggap melanggar prosedur dan kewenangan, alias menyalahi kewenangan administratif lalu dicap sebagai pelaku tindakan korupsi"
"Ini udah gila sih, kalau kayak gini siapa yang mau jadi pejabat? Siapa yang mau megang amanat?"
"Dia dipenjara karena dianggap mengutamakan ekonomi kapitalistik daripada ekonomi pancasila. Ini sungguh di luar akal sehat yang paling sakit sekalipun, ambigu, tidak berdasar dan anehnya malah didukung cuma karena beda pilihan saat pemilu"
"Kenkawan ini bukan lagi soal pemilu, beliau bukan maling, bukan pula koruptor, dianggap merugikan negara ratusan miliar, ini benar-benar tidak adil dan mencoreng wajah negara ini."
"Justice for Tom Lembong. Rakyat Indonesia bersamamu"
Apakah ini kriminalisasi kebijakan atau benar-benar bentuk penyimpangan kekuasaan? Pertanyaan ini masih membelah opini publik hingga kini.
Jika kamu memiliki pandangan mengenai hubungan antara kebijakan ekonomi dan keadilan sosial, kasus Tom Lembong bisa menjadi bahan renungan penting. Sebab pada akhirnya, publik bukan hanya menilai niat, tapi juga dampak nyata dari setiap keputusan pejabat negara.