POSKOTA.CO.ID - Selama lebih dari seribu tahun, Konstantinopel berdiri tegak sebagai pusat Kekaisaran Bizantium, dilindungi tembok batu setebal lima meter dan armada laut yang tangguh.
Kota yang dikenal mustahil ditaklukkan ini menjadi simbol keangkuhan dan ketangguhan dunia Kristen Timur.
Namun sejarah tak pernah berhenti menghadirkan kejutan. Tahun 1453, seorang pemuda bernama Muhammad Alfatih muncul sebagai pemimpin yang berhasil meruntuhkan mitos keabadian Konstantinopel.
Berikut ini adalah kisah lengkap salah satu pemimpin paling legendaris dalam sejarah yang mampu menaklukan Konstantinopel, Muhammad Alfatih.
Baca Juga: Kisah Joseph Stalin: Anak Tukang Sepatu yang Menjadi Penguasa Setengah Dunia
Awal Perjalanan Seorang Pemimpin Muda
Muhammad Alfatih lahir pada 1432, di tengah upaya Kekaisaran Utsmani membangun kejayaannya. Ayahnya, Sultan Murad II, adalah penguasa yang tegas dan visioner.
Sejak kecil, Alfatih ditempa bukan hanya dengan ilmu agama, tetapi juga filsafat, strategi militer, dan bahasa asing.
Didikan keras ini diperkuat oleh pengaruh ulama sufi besar, Syekh Aaq Syamsuddin, yang menanamkan keyakinan bahwa suatu hari kelak ia akan menjadi penakluk Konstantinopel, sesuai nubuat Rasulullah SAW.
Di usia 12 tahun, Alfatih sempat diangkat menjadi sultan muda saat ayahnya mengundurkan diri.
Meskipun takhta kembali ke tangan sang ayah, pengalaman ini semakin meneguhkan tekadnya: suatu hari ia akan merebut kota yang legendaris itu.
Baca Juga: Elon Musk Dirikan Partai Politik Baru untuk Lawan Kebijakan Donald Trump: America Party
Strategi Tak Biasa dan Meriam Raksasa
Ketika naik takhta penuh pada 1451, Alfatih baru berusia 19 tahun. Dunia Barat memandangnya sebelah mata, namun di balik usia mudanya, ia mempersiapkan rencana besar.
Alfatih memerintahkan pembangunan meriam Basilika, senjata raksasa sepanjang delapan meter dengan peluru batu seberat 600 kilogram, karya insinyur Hungaria bernama Urban.
Senjata ini menjadi salah satu faktor kunci yang belum pernah dicoba para penyerang sebelumnya. Selain itu, Alfatih membangun benteng Rumeli Hisare di tepi Selat Bosforus untuk memutus jalur bantuan dari Laut Hitam.
Langkah lainnya, yang tak kalah mengejutkan adalah menarik kapal-kapal melewati bukit dengan bantuan roda dan pelumas.
Armada Utsmani pun berhasil mengepung kota dari sisi yang tak terduga, memaksa Bizantium menghadapi tekanan dari segala arah.
Baca Juga: Hari Bulu Tangkis Sedunia Diperingati Tiap 5 Juli, Berikut Sejarahnya
Hari-Hari Pengepungan dan Perang Psikologi
Pengepungan dimulai pada 6 April 1453. Konstantinopel, yang dilindungi tembok kokoh setinggi 12 meter, harus menghadapi gempuran meriam Basilika setiap hari. Ledakan meriam bukan hanya meruntuhkan tembok sedikit demi sedikit, tetapi juga mematahkan semangat pertahanan Bizantium.
Alfatih tak hanya mengandalkan senjata dan pasukan. Ia memainkan peran penting sebagai pemimpin yang memompa semangat tentaranya setiap hari, memimpin doa bersama, dan menegaskan bahwa perjuangan ini adalah jihad yang dijanjikan Rasulullah.
Strategi psikologi ini menjadi kunci menjaga moral pasukan Utsmani tetap tinggi meskipun pengepungan berlangsung berlarut-larut. Tak berhenti di situ, Alfatih memerintahkan penggalian terowongan bawah tanah untuk meruntuhkan tembok dari dalam.
Meski pasukan Bizantium berhasil memergoki dan memerangi para penggali, semangat dan tekanan pasukan Utsmani tak kunjung surut.
Serangan Terakhir dan Kejatuhan Konstantinopel
Puncak serangan terjadi pada 29 Mei 1453, subuh hari. Alfatih mengatur serangan dalam tiga gelombang.
Gelombang terakhir adalah pasukan elit Janiseri yang menjadi penentu kemenangan. Salah satu gerbang kota, Kerkoporta, terbuka entah karena kelalaian atau takdir dan menjadi jalan masuk bagi pasukan Utsmani. Kaisar Konstantin XI sendiri memilih bertempur hingga akhir hayat.
Saat matahari terbit, bendera Utsmani berkibar di atas Hagia Sophia, menandai runtuhnya Bizantium yang telah bertahan selama lebih dari satu milenium. Bagi Muhammad Alfatih, kemenangan ini adalah realisasi nubuat Rasulullah. Namun, ia tak merayakan dengan euforia semata.
Muhammad Alfatih hanya mengizinkan penjarahan selama tiga hari. Ia melindungi gereja-gereja, memastikan umat Kristen dan Yahudi tetap dapat beribadah sesuai keyakinannya. Hagia Sophia diubah menjadi masjid, namun tetap dijaga keindahan dan kehormatannya.
Lebih jauh, Alfatih mengubah Konstantinopel menjadi Istanbul, ibu kota baru yang multikultural dan kosmopolitan. Ia membangun madrasah, rumah sakit, sistem administrasi modern, hingga infrastruktur perdagangan.
Sistem Milet diperkenalkan, memberikan otonomi kepada setiap komunitas agama untuk mengatur urusan internal mereka.
Warisan yang Abadi
Muhammad Alfatih wafat pada 1481 dalam usia 49 tahun, ketika sedang memimpin ekspedisi ke Italia. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri, ada yang menyebut sakit, ada pula yang menduga ia diracun.
Namun warisan terbesarnya bukan sekadar wilayah yang ditaklukkan, melainkan bagaimana ia menata kehidupan kota yang diraihnya.
Di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Utsmani berubah menjadi kekuatan besar dunia, dan Istanbul menjadi pusat ilmu, budaya, dan perdagangan yang memengaruhi dunia hingga hari ini.