Namun, pada 1735, Justinus Vinck mengubahnya menjadi pasar yang disebut dengan pasar Tanah Abang.
Meski demikian, mulanya pasar ini bernama Pasar Sabtu karena para pedagang hanya diizinkan melakukan transaksi jual beli setiap hari Sabtu.
Baca Juga: Sejarah Jakarta: Inilah Masjid Paling Tua di Jakarta, Jadi Simbol dari Kebhinekaan Etnik
Justinus Vinck sendiri diketahui sebagai salah satu pejabat VOC yang mendirikan pusat grosir Tanah Abang usai mendapatkan izin dari Gubernur Belanda pada saat itu, Jenderal Abraham Patramini.
Pada awal dibangun, pasar Tanah Abang disebut memiliki tampilan yang sangat sederhana karena hanya beratap rumbia (daun pohon sagu) dan memiliki dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Adapun, komoditi yang saat itu diperbolehkan dijual di pasar ini adalah barang-barang tekstil dan kelontong.
Tepat lima tahun setelah pasar ini berdiri dan menjadi tempat jual beli yang mampu membangun peradaban di sekitarnya, tiba-tiba saja terjadi kerusuhan yang dikenal dengan peristiwa 'geger pecinan'.
Ini adalah peristiwa pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa oleh VOC karena perilaku orang Tionghoa yang dianggap agresif kepada para VOC.
Akibat kerusuhan ini, pasar sempat berhenti beroperasi dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun, pada 1881 kegiatan perdagangan mulai kembali normal.
Apalagi, kedatangan para saudagar China dan Arab yang menetap dan menggunakan kawasan pasar ini perlahan-lahan mulai membuat pasar ini pulih kembali.
Lalu pada awal abad ke-19, pemerintah Batavia (Jakarta) merombak pasar Tanah Abang besar- besaran dan akhirnya pasar tersebut pun masih aktif beroperasi hingga sekarang.