Sebelum tragedi, DSA sempat mengunggah cerita di akun Instagram miliknya, menyinggung tentang layanan konsultasi psikologi. Teman-temannya mengakui bahwa DSA pernah curhat tentang kelelahan mental yang ia alami. Namun, sifatnya yang tertutup membuat orang sekitar sulit memahami beban yang ia tanggung.
Salah satu temannya menceritakan:
“Dia terakhir posting story tentang konsultasi psikolog. Tapi kami semua tidak pernah tahu masalah pastinya. Dia orangnya pendiam, kalau cerita pun ragu-ragu dan takut dihakimi.”
Testimoni tersebut menjadi pengingat bahwa tidak semua orang yang mengalami tekanan mental dapat secara terbuka meminta bantuan.
Respons Publik: Empati, Duka, dan Refleksi Kolektif
Unggahan surat wasiat DSA memicu gelombang empati luas. Ribuan komentar memenuhi kolom media sosial yang membagikan kabar tersebut. Akun @aff.i97 menulis:
“Kalau ada teman atau keluarga yang kelihatan depresi, tolong didekati, diajak ngobrol, jangan dibiarkan sendirian.”
Sementara akun @sufiya_mumtazah menekankan bahayanya sikap membandingkan penderita gangguan mental:
“Kalau kalian bilang ‘orang lain bipolar juga bisa kuat’, kalian enggak tahu betapa kerasnya isi kepala orang yang kalian nilai itu.”
Respons publik ini menunjukkan kesadaran yang mulai tumbuh bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, bahkan dalam dunia akademik yang prestisius.
Perspektif Profesional: Pentingnya Dukungan Sistemik
Psikolog klinis Dr. Yunita Pranawati menjelaskan bahwa tindakan bunuh diri umumnya berakar dari kombinasi faktor biologis, psikologis, dan sosial. Beberapa faktor risiko yang kerap ditemui antara lain:
- Gangguan Mood dan Depresi
Depresi berat bisa menimbulkan perasaan tidak berdaya berkepanjangan. - Trauma Psikososial
Tekanan akademik, relasi sosial yang minim, atau konflik keluarga memperburuk kondisi. - Kurangnya Dukungan Emosional
Individu cenderung menarik diri dan merasa tak memiliki ruang aman untuk berbicara. - Stigma dan Komentar Meremehkan
Sikap membandingkan atau menghakimi penderitaan seringkali membuat individu semakin merasa terisolasi.
Pakar kesehatan mental merekomendasikan agar institusi pendidikan menyediakan layanan konseling psikologi yang dapat diakses mudah dan gratis oleh mahasiswa. Selain itu, pelatihan literasi kesehatan mental bagi dosen dan staf kampus penting untuk membangun kultur empati.
Tanggung Jawab Institusi Pendidikan dan Pemerintah
Kejadian di UNS Solo bukanlah kasus tunggal. Data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa prevalensi depresi pada mahasiswa di Indonesia terus meningkat. Kompleksitas tuntutan akademik, kompetisi, dan ekspektasi keluarga menciptakan tekanan yang kerap tidak kasatmata.