POSKOTA.CO.ID - Banyak orang dewasa yang hidup dengan perasaan tidak pernah cukup, takut ditolak, atau merasa tidak layak dicintai.
Meski di permukaan tampak wajar, perilaku ini bisa berasal dari luka batin yang belum terselesaikan. Luka itu berasal dari sosok kecil di dalam diri kita yang dikenal sebagai inner child.
Konsep inner child merujuk pada bagian psikologis yang mewakili sisi kekanak-kanakan seseorang, termasuk pengalaman masa kecil, baik yang positif maupun traumatis.
Ketika pengalaman negatif tidak terselesaikan, inner child menyimpannya sebagai luka emosional. Luka inilah yang kemudian memengaruhi reaksi dan cara kita menghadapi dunia di masa dewasa.
Baca Juga: Soal Seragam Mirip TNI, PP Kota Bekasi: Kami Tunggu Arahan Ketua Umum
Luka Batin yang Menyamar Jadi “Kebiasaan”
Melansir dari Instagram @VIbrasi_Syukur, seringkali kita tidak sadar bahwa reaksi emosional kita adalah cerminan luka lama. Misalnya:
- Merasa tidak pernah cukup, meskipun sudah bekerja keras, bisa jadi berasal dari masa kecil di mana pencapaian kita jarang diapresiasi.
- Selalu berusaha menyenangkan orang lain karena takut ditolak, bisa berakar dari pengalaman ditinggalkan atau tidak diterima apa adanya.
- Mudah tersinggung atau overthinking saat dikritik, bisa jadi adalah reaksi defensif karena dulu sering disalahkan tanpa ruang untuk menjelaskan.
Perilaku-perilaku ini sering dianggap kelemahan. Padahal, itu adalah pertanda bahwa ada bagian dari diri kita yang masih merasa belum aman. Bagian kecil itu inner child bukan sedang membuat drama. Ia hanya ingin didengar.
Inner Child: Refleksi Masa Kecil dalam Diri Dewasa
Inner child bukan konsep mistik atau sekadar istilah populer di media sosial. Dalam psikologi, ini adalah cara untuk memahami pengaruh masa kecil terhadap kondisi psikologis dan hubungan interpersonal seseorang. Psikolog Carl Jung dan John Bradshaw merupakan tokoh awal yang memperkenalkan pentingnya menghadapi bagian "anak kecil dalam diri".
Bila luka ini dibiarkan, ia akan membentuk pola perilaku negatif:
- Ketergantungan pada validasi eksternal
- Kesulitan dalam membangun relasi sehat
- Ketakutan ekstrem terhadap kegagalan atau penolakan
- Kecenderungan menyabotase diri saat hampir berhasil
Proses Penyembuhan: Dengarkan, Bukan Bungkam
Penyembuhan inner child tidak bisa dilakukan dengan paksaan seperti “ayo move on” atau “jangan terlalu baper”. Justru sebaliknya, ia butuh pengakuan. Validasi bahwa rasa sakit itu nyata. Dan seseorang perlu memeluk luka tersebut—dengan penuh kesadaran.
Langkah awalnya adalah: