POSKOTA.CO.ID – Pilihan pikiran yang muncul dalam kepala seseorang ternyata memainkan peran besar dalam menentukan emosi, respons tubuh, hingga kualitas hidup secara keseluruhan.
Hal ini disampaikan oleh Gayathri Arvind, seorang advokat kesehatan mental, dalam pemaparannya mengenai hubungan antara pikiran, sistem saraf, dan ketenangan hidup.
Dalam sebuah analogi yang sederhana, Arvind menggambarkan dua orang yang terjebak dalam kemacetan selama dua jam di jalan raya. Keduanya mengalami kondisi yang sama, namun menunjukkan reaksi yang sangat berbeda.
"Orang pertama di dalam mobil merah marah, berteriak, bahkan menendang mobilnya karena frustrasi. Sementara orang kedua di mobil biru tetap tenang, bermain dengan anaknya, bahkan tersenyum kepada orang di sebelahnya," ujar Arvind, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abhasa - Mental Health pada Senin, 23 Juni 2025.
Baca Juga: Survival Mode Bukan Gangguan Mental, Tapi Mekanisme Bertahan dari Luka Mendalam
Kedua orang tersebut melihat situasi yang sama, yakni jalanan macet, tidak ada jalan keluar, dan keterlambatan. Namun, perbedaan reaksi mereka, kata Arvind, bermula dari satu hal sederhana, yakni pikiran yang dipilih otak mereka.
"Orang pertama berpikir, 'Ini tidak adil, hari saya amburadul,' dan secara otomatis sistem sarafnya merespons dengan melepaskan hormon stres seperti kortisol. Sebaliknya, orang kedua berpikir, 'Saya tidak bisa mengubah ini, jadi lebih baik saya menikmati momen ini,’" jelasnya.
Menurut Arvind, reaksi ini bukan sekadar soal “mindset”, melainkan berbasis ilmu saraf. Setiap hari, manusia menerima lebih dari 6.000 pikiran.
Pikiran-pikiran ini kemudian memicu aktivitas di sistem limbik otak, pusat emosi, yang pada akhirnya menghasilkan senyawa kimia tertentu di tubuh. Senyawa ini menciptakan sensasi fisik yang berkembang menjadi emosi, dan dari situ membentuk perilaku.
Baca Juga: Tak Hanya Bikin Tubuh Lebih Bugar dan Ideal, Berenang Ternyata Juga Ampuh Menjaga Kesehatan Mental!
“Setiap kali Anda memilih satu pikiran, Anda sedang memberi kekuatan. Kekuatan untuk mengubah momen itu, pengalaman itu, dan bahkan hidup Anda," ungkapnya.
Arvind menegaskan bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya mengontrol pikiran, tetapi bisa memilih pikiran mana yang akan diberi kuasa. Kesadaran dalam mengamati pikiran-pikiran yang muncul menjadi kunci.
Sebagai contoh, saat seseorang kehilangan pekerjaan, otaknya akan menghasilkan berbagai respons. Salah satunya mungkin pikiran pesimistis, "Saya hancur." Namun, bisa juga muncul pikiran optimistis, seperti "Mungkin ini kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru." Pilihan atas pikiran itulah yang menjadi penentu bagaimana seseorang merespons secara emosional.
“Masalahnya adalah, sebagian besar dari kita memberikan kekuasaan kepada pikiran yang menyakiti diri kita, secara otomatis, secara bawah sadar, karena sudah menjadi pola yang dipelajari sejak lama,” kata Arvind.
Baca Juga: Bukan Sekadar Perasaan Galau, Ini Dampak Serius Kesepian bagi Kesehatan Fisik dan Mental
Ia menekankan bahwa kesadaran atas pilihan pikiran bukan hanya membebaskan seseorang dari stres, tetapi juga mengembalikan kontrol atas kedamaian batin.
“Kedamaian Anda adalah pilihan Anda. Dunia di luar tidak punya kuasa atas ketenangan Anda, selama Anda tahu bahwa pikiran Andalah yang menentukan," tutupnya.