POSKOTA.CO.ID – Dalam upayanya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, advokat kesehatan mental Gayathri Arvind mengajak publik untuk memahami makna sebenarnya dari "memproses emosi dengan benar", sebuah istilah yang menurutnya sering disalahpahami.
“Semua orang bilang kita harus memproses emosi dengan benar, tapi apa artinya? Bagaimana kita memproses sesuatu yang bahkan tidak kita pahami sepenuhnya?” ujar Gayathtri Arvind, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abhasa - Mental Health pada Minggu, 22 Juni 2025.
Gayathri Arvind menjelaskan bahwa emosi sejatinya adalah pesan kimiawi yang dikirim tubuh untuk membimbing individu dalam merespons keadaan. Berdasarkan penelitian ilmiah, emosi, jika tidak dipicu oleh aliran pikiran tambahan, berlangsung dalam gelombang pendek, sekitar 90 detik.
Baca Juga: 5 Cara Cerdas Mengatakan 'Tidak' atau Melakukan Penolakan Tanpa Menyakiti Perasaan, Kesehatan Mental
Menurutnya, ada tiga jenis emosi yang umum dirasakan:
- Emosi Primer, seperti takut, sedih, atau bahagia.
- Emosi Sekunder, yang muncul akibat pengondisian sosial, misalnya rasa bersalah karena marah, atau malu karena merasa sedih.
- Emosi Kompleks, seperti iri hati, dendam, atau rasa putus asa, yang sifatnya lebih berlapis.
Dengan mencontohkan situasi sederhana, Gayathri Arvind menggambarkan bagaimana emosi seperti rasa cemburu bisa berkembang menjadi ketidaknyamanan yang lebih besar ketika dipadukan dengan pikiran tambahan.
Ia menuturkan skenario di mana seseorang merasa senang sekaligus tertekan saat sahabatnya berhasil membeli rumah baru.
“Rasa cemburu itu muncul, tubuh Anda merespons, lalu emosi itu akan memudar. Tapi saat Anda mulai berpikir 'Saya tak seharusnya merasa seperti ini', Anda menambahkan rasa malu. Lalu rasa bersalah, lalu sedih, dan lingkaran itu terus berputar,” jelas Gayathri Arvind.
Baca Juga: Jangan Abai! Pakar Sebut Stres Kronis Dapat Memengaruhi Kualitas Otak, Tips Kesehatan Mental
Gayathri Arvind menekankan bahwa inti permasalahan bukan pada emosi itu sendiri, melainkan pada pemikiran yang melekat padanya. Ia menyebut bahwa pola pikir seseorang terbentuk dari berbagai pengondisian dan kepercayaan yang ditanamkan sejak kecil.
“Kita memang tak bisa menghentikan pikiran yang muncul, tapi kita bisa memilih untuk melekatkan pikiran alternatif,” kata Arvind.