Di usia senja, Suryadi masih menjadi sopir bajaj di kawasan Stasiun Bekasi. Penghasilannya tak menentu, jarang tembus Rp50 ribu per hari. Sang istri pun bekerja serabutan di laundry, demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sebelum membangun di lokasi tersebut, Suryadi sempat meminta izin kepada seseorang yang disebutnya 'penggarap lahan'. Meski enggan menyebut nama, ia mengaku telah memberi sejumlah uang sebagai tanda terima kasih.
"Awalnya saya minta izin dulu, enggak asal bangun. Dan ada orang yang kasih izin. Walau enggak diminta, saya kasih uang seikhlasnya karena sudah diizinkan mendirikan bangunan disini," ujarnya.
Baca Juga: Masjid Jami Kalipasir Kota Tangerang: Cagar Budaya yang Butuh Perhatian Pemda
Kini, ia bukan hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang sehari-hari. Tetapi juga harus berpikir bagaimana bisa membangun rumah kembali.
Suryadi mengaku sangat terpukul dengan pembongkaran rumahnya yang terkesan mendadak itu. Jangankan bangunan yang layak, tempat tidur untuk keluarganya malam ini saja belum ada. Air bersih pun tak tersedia. Kini mereka hanya bisa menimba air dari kali terdekat untuk keperluan sehari-hari.
"Sekarang saya enggak bisa tidur tenang. Semalam saya tidur di bawah terpal ini, bingung mau ke mana lagi," keluhnya.
Yang tersisa hanyalah tumpukan kayu, bambu, asbes, dan genteng bekas yang sebagian pecah dan sudah patah. Meski begitu, Suryadi tetap berjaga di atas reruntuhan agar barang-barang sisa itu tak diambil orang.
Baca Juga: Pesan Seniman: Yang Bertato yang Bertakwa
"Saya masih ada kayu, bambu di sini. Kalau ditinggal takut diambil orang," ucapnya pelan.
Selama tujuh tahun tinggal di sana, ia mengaku tak pernah menerima bantuan dari pemerintah setempat.
"Belum pernah ada bantuan dari lurah. Enggak pernah dapat sembako, padahal sudah tujuh tahun di sini," ungkapnya.