IHSG Terjun Bebas Akibat Perang Israel-Iran, Amerika Tutup Kedutaan di Yerusalem

Jumat 20 Jun 2025, 10:01 WIB
IHSG Terjun Bebas Akibat Perang Israel-Iran, Amerika Tutup Kedutaan di Yerusalem! (Sumber: Pinterest)

IHSG Terjun Bebas Akibat Perang Israel-Iran, Amerika Tutup Kedutaan di Yerusalem! (Sumber: Pinterest)

POSKOTA.CO.ID - Ketegangan bersenjata antara Israel dan Iran kian meningkat sejak awal Juni 2025. Rentetan serangan balasan yang dilancarkan kedua negara telah mengguncang kawasan Timur Tengah, menyulut kekhawatiran global akan potensi perang berkepanjangan.

Konflik yang melibatkan rudal balistik, drone tempur, hingga penguncian target strategis di Teheran dan Haifa tidak hanya berdampak pada keamanan regional, namun juga mengguncang pasar keuangan dunia.

Amerika Serikat pun mengambil langkah ekstrem dengan menutup operasional Kedutaan Besarnya di Yerusalem sejak Rabu, 18 Juni 2025, atas alasan keamanan.

Kedubes AS juga telah menginstruksikan seluruh staf untuk berlindung di tempat aman hingga pemberitahuan selanjutnya. Langkah ini merupakan sinyal serius betapa gentingnya situasi saat ini.

Baca Juga: Siapa Eddy Abdul Manaf? Tokoh Kunci Era Soekarno yang Tak Banyak Diketahui Publik, Ayah Kandung Ahmad Dhani

Dampak Langsung ke Indonesia: IHSG Anjlok, Investor Panik

Dampak dari konflik tersebut langsung terasa di Indonesia. Pada perdagangan Kamis, 19 Juni 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok sebesar 1,96% atau turun 139,14 poin. Data mencatat, dari total saham yang diperdagangkan, sebanyak 571 saham terkoreksi, 92 saham menguat, dan 139 stagnan.

Menurut Liga Maradona, Equity Research Analyst dari OCBC Sekuritas, tren penurunan ini diperkirakan masih akan berlanjut. Ia memperkirakan IHSG akan bergerak pada rentang 6.880 hingga 7.050, dengan kecenderungan melemah secara terbatas.

Daniel Agustinus, Direktur PT Kanaka Hita Solvera, mengamini pernyataan tersebut. Ia memperkirakan potensi pelemahan lebih dalam hingga menyentuh 6.850 jika sentimen negatif terus berlanjut, terutama karena efek dari aksi rebalancing indeks FTSE, yang bisa memicu arus keluar dari saham-saham unggulan (big caps).

Komoditas dan Energi Jadi Andalan Bertahan

Di tengah kekacauan geopolitik dan ketidakpastian pasar, sektor energi dan komoditas justru mendapatkan angin segar. Ketegangan militer telah menyebabkan harga minyak mentah dunia melonjak. Menurut data Trading Economics, pada Kamis (19/6) pukul 17:54 WIB, harga WTI naik 1,3% dalam sehari ke posisi US$76,11 per barel, atau naik sekitar 22,5% dalam sebulan terakhir.

Kenaikan harga minyak ini memberikan sentimen positif bagi emiten sektor energi. Daniel Agustinus menyebut saham seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Elnusa Tbk (ELSA), dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) patut dipantau investor untuk jangka pendek.

Sementara itu, Liga Maradona menambahkan sektor logam mulia juga menarik perhatian. Saham seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dinilai punya potensi positif di tengah lonjakan harga emas dan ketidakpastian global.

Perspektif Global: Pandangan JP Morgan terhadap IHSG dan Komoditas

Henry Wibowo, Executive Director, Head of Indonesia Research & Strategy di JP Morgan Indonesia, menguatkan bahwa tensi geopolitik Israel-Iran memberikan tekanan besar terhadap IHSG.

Menurutnya, lonjakan harga minyak bisa berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, mengingat Indonesia masih mengandalkan impor minyak dalam jumlah besar. Jika harga terus naik hingga menembus US$100 per barel, tekanan terhadap APBN akan semakin berat.

Namun, Henry juga menunjukkan sisi optimistis. Ia menjelaskan bahwa jika harga batubara melonjak, pasar Indonesia justru bisa diuntungkan karena komoditas ini merupakan andalan ekspor nasional.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penurunan suku bunga bisa menjadi penyelamat pasar modal Indonesia. “Kami memprediksi adanya ruang untuk satu hingga dua kali pemotongan suku bunga di Indonesia. Ini akan mendorong fund flow ke pasar negara berkembang seperti Indonesia,” kata Henry.

JP Morgan memproyeksikan IHSG bergerak dalam rentang luas 6.500 hingga 7.500 dalam 12 bulan ke depan, tergantung pada volatilitas global dan arah suku bunga.

Baca Juga: SPMB Jabar 2025 Umumkan Status 'Layak Seleksi', Ini Arti Istilah yang Wajib Diketahui Orang Tua

Potensi Lanjutan dan Risiko Strategis

Konflik Israel dan Iran tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Iran, dalam operasi balasan bertajuk Janji Sejati III, telah meluncurkan lebih dari 100 drone tempur dan rudal balistik ke arah Israel, menargetkan sistem pertahanan udara serta infrastruktur militer di Haifa dan Tel Aviv.

Israel, melalui Menteri Pertahanan Israel Katz, merespons dengan meningkatkan intensitas serangan ke wilayah Iran. Militer Israel bahkan dilaporkan telah mempersiapkan serangan udara ke infrastruktur strategis di Teheran, termasuk sentrifus nuklir dan jaringan rudal.

Menurut laporan media Iran, sistem pertahanan udara Iran telah mencegat sejumlah serangan di Teheran utara. Namun eskalasi ini berpotensi memicu intervensi dari pihak ketiga, termasuk Amerika Serikat atau negara Teluk lainnya, yang akan memperluas skala konflik.

Dewan Keamanan Nasional Iran telah mengeluarkan peringatan bahwa strategi berbeda akan diterapkan jika negara lain ikut campur dalam konflik. Ini berarti risiko geopolitik masih jauh dari kata usai.

Sektor Konsumer dan Tambang Masih Menarik

Meskipun kondisi global tidak pasti, JP Morgan masih menyukai sektor konsumer dan tambang, khususnya terkait emas. Permintaan emas sebagai aset lindung nilai meningkat pesat setiap kali risiko geopolitik melonjak.

Sektor konsumer, di sisi lain, dinilai defensif terhadap gejolak global, karena permintaan dalam negeri masih kuat. Ini menjadi pertimbangan penting bagi investor yang ingin melakukan rotasi sektor di tengah fluktuasi pasar yang tinggi.

Konflik Israel-Iran telah menjadi katalis utama penurunan IHSG, yang diperparah oleh aksi rebalancing indeks dan tekanan keluar dana asing. Namun, tidak semua sektor terkena imbas negatif. Sektor energi, logam, dan konsumer masih punya peluang defensif.

Bagi investor ritel maupun institusi, strategi selektif dan berbasis data menjadi penting. Memantau harga komoditas global dan arah kebijakan moneter domestik dapat menjadi kunci bertahan, bahkan mencetak keuntungan, di tengah situasi yang belum pasti ini.


Berita Terkait


News Update