POSKOTA.CO.ID – Idealnya, orang tua adalah tempat pertama anak bersandar saat dunia terasa berat.
Mereka diharapkan menjadi sosok yang membimbing, melindungi, dan menguatkan. Namun, tak sedikit orang tua yang justru melontarkan ucapan menyakitkan yang bisa menimbulkan luka psikologis jangka panjang.
Ironisnya, banyak anak tak menyadari bahwa perlakuan itu salah, karena mereka belum punya pembanding. Akibatnya, mereka diam, merasa itu hal biasa, hingga akhirnya luka itu tumbuh dalam diam.
Berikut ini adalah sepuluh contoh ucapan beracun dari orang tua yang perlu diwaspadai.
Baca Juga: 5 Tanda Anda Memerlukan Batasan Personal dengan Orang Lain untuk Menjaga Kesehatan Mental
“Kamu jelek banget.”
Ucapan ini terdengar sederhana, tapi dampaknya luar biasa besar. Dukungan terhadap penampilan anak adalah hal mendasar.
Namun ketika orang tua justru menghina rupa anak sendiri, rasa percaya diri mereka bisa runtuh.
Komentar ini bisa menjadi awal dari krisis citra tubuh dan gangguan kepercayaan diri yang berkelanjutan.
“Ucapan ini bisa meledak di pikiran anak, menciptakan ketidaknyamanan yang menetap terhadap tubuhnya sendiri,” ucap Psych2Go, dikutip oleh Poskota dalam kanal YouTube Psych2Go pada Minggu, 15 Juni 2025.
Baca Juga: 3 Penyakit Ini Sering Dialami Peserta Program Cek Kesehatan Gratis
“Kamu aneh.”
Label seperti ini menyiratkan bahwa anak tidak diterima, bahkan dianggap ‘tidak normal’.
Ucapan ini bisa membuat anak merasa dirinya cacat secara sosial, seolah-olah ada yang salah dalam jati dirinya.
Rasa malu yang ditimbulkan bisa menghambat proses perkembangan sosial dan emosional.
“Kamu kekanak-kanakan banget.”
Jika kalimat ini muncul saat anak mencoba berkomunikasi atau mengungkapkan pendapat, maka efeknya bisa sangat merusak.
Anak bisa merasa direndahkan, bahkan dipermalukan karena menjadi dirinya sendiri. Ini juga bisa menyiratkan bahwa kebutuhan dan pendapat anak tidak layak untuk dihargai.
Baca Juga: Kemenkes Catat 50 Persen Perempuan Alami Obesitas Sentral Saat Cek Kesehatan Gratis
“Ibu/Ayah akan kirim kamu ke pesantren/asrama.”
Kalimat ini sering dijadikan ancaman, baik di kehidupan nyata maupun film.
Nyatanya, ancaman ini menyiratkan bahwa anak tak lagi diinginkan di rumah. Psikolog menyebut ini sebagai bentuk pengabaian emosional yang mengikis rasa aman dan kasih sayang.
“Begitu kamu 18 tahun, kamu harus keluar dari rumah.”
Usia 18 memang dianggap sebagai titik awal kemandirian, namun jika diikuti ancaman pengusiran, anak akan merasa seperti beban.
Rasa bersalah dan ketakutan akan penolakan bisa tumbuh sejak dini, membuat mereka tak merasa berhak atas kasih sayang atau perlindungan.
Baca Juga: Cara Membicarakan Kesehatan Mental kepada Pasangan, Simak Langkahnya
“Ini semua salah kamu!”
Pernyataan ini merupakan bentuk manipulasi yang serius. Menjadikan anak sebagai kambing hitam atas masalah keluarga bisa menumbuhkan perasaan bersalah yang tidak sehat.
Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang terlalu menyalahkan diri dan takut mengambil keputusan.
“Hormati orang tua!” (dalam nada mengancam)
Mengajarkan hormat memang penting, tapi jika digunakan sebagai alat kendali tanpa teladan yang baik, justru menjadi racun.
Anak akan bingung membedakan antara otoritas yang sehat dan penyalahgunaan kekuasaan. Kata-kata ini seolah melegitimasi perilaku buruk hanya karena faktor usia.
“Lakukan saja, kalau tidak…”
Ancaman terbuka semacam ini menghapus ruang dialog antara orang tua dan anak. Anak tidak lagi merasa punya hak memilih atau menyampaikan pendapat. Mereka hanya jadi objek yang harus patuh tanpa hak untuk bertanya atau menolak.
“Kamu nggak bisa olahraga!”
Ganti kata olahraga dengan apapun—menari, menggambar, atau menyanyi. Kalimat ini membuat anak meragukan kemampuannya sendiri. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut mencoba atau mengekspresikan diri karena takut gagal atau diejek.
“Kamu murid paling jelek!”
Tak ada yang suka dibanding-bandingkan, apalagi oleh orang tua sendiri. Ketika orang tua menyatakan bahwa anak adalah yang ‘terburuk’, itu bukan hanya menghancurkan semangat, tapi juga memperkuat pikiran negatif yang mungkin sudah ada di dalam diri anak.
“Ucapan seperti ini bisa menjadi konfirmasi atas keyakinan bahwa diri mereka memang tidak layak, tidak cukup baik.”
Mengapa Ucapan Ini Berbahaya?
Semua contoh di atas bukan sekadar komentar pedas, tapi masuk kategori kekerasan verbal. Ketika diulang dan digunakan sebagai alat kontrol, itu menjadi bentuk verbal abuse, perlakuan yang merusak psikologis korban secara perlahan tapi pasti.
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih peka terhadap pola komunikasi dalam keluarga. Anak bukan hanya perlu diberi makan dan tempat tinggal. Mereka butuh didengar, dihargai, dan diperlakukan dengan kasih sayang.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami perlakuan serupa, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.
Tidak ada salahnya meminta pertolongan, karena setiap anak berhak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan penuh cinta.