“Point-nya bukan di mobil LCGC, tapi nunjuk make kaki, astaga...” – @Dewi A.M.
“Bukan masalah mobilnya. Tapi adab sopan santun.” – @Nakeisha.Store
"Untung mobil LCGC gue udah dijual. Aman...” – @Hendar Dede
Menunjukkan bahwa publik lebih sensitif terhadap gesture simbolik yang dianggap menandakan kurangnya adab, dibanding atribut sosial-ekonomi seperti jenis mobil.
Siapa Sebenarnya Wanita dalam Video Tersebut?
Menariknya, wajah pembeli dalam video tidak terlihat jelas karena menghadap belakang. Ini membuat identitasnya tetap misterius hingga kini.
Meski penjual menyebutnya dengan sapaan “Bu Haji,” tidak ada konfirmasi lebih lanjut siapa sebenarnya wanita tersebut. Apakah ia sekadar pembeli biasa, atau sosok dengan latar belakang sosial tertentu, tetap menjadi pertanyaan publik.
Beberapa spekulasi di Twitter menyebut bahwa tindakan penjual yang menyindir dengan lantang bisa memunculkan implikasi hukum, terutama jika identitas pembeli terbongkar tanpa persetujuan.
Etika Transaksi: Di Antara Hak Penjual dan Sikap Pembeli
Dalam budaya ketimuran, gestur tubuh memiliki makna yang dalam. Menunjuk dengan kaki, terlebih dalam konteks jual-beli, bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan.
Dalam konteks ini, penjual bukan hanya marah karena harga ditawar rendah, tetapi karena merasa harga dirinya diinjak secara simbolik tepatnya dengan kaki.
Namun demikian, tanggapan emosional penjual yang menyebut kata-kata kasar, seperti "tahi kucing" dan menyuruh pergi sambil menyindir mobil "LCGC butut", menimbulkan diskursus baru: Apakah respons seperti itu pantas dalam dunia usaha yang mengutamakan pelayanan?
Dimensi Kelas Sosial: Ketika LCGC Jadi Simbol yang Dipermasalahkan
Ungkapan "timbang naik LCGC butut, pergi-pergi gak usah di toko kami!" dari penjual memunculkan wacana kelas sosial yang tak terhindarkan dalam percakapan publik.
LCGC, yang dirancang sebagai kendaraan ramah lingkungan dan terjangkau untuk masyarakat menengah bawah, menjadi bahan ejekan padahal fungsinya bukan sebagai indikator status sosial.