Terungkap! Sosok di Balik Kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana Diduga Terkait Tambang Nikel Papua, Siapa Pemiliknya?

Senin 09 Jun 2025, 09:33 WIB
Siapa Pemilik Asli Kapal JKW Mahakam? Jejaknya Menyeret Tambang Nikel Raja Ampat. (Sumber: X/@jondhez)

Siapa Pemilik Asli Kapal JKW Mahakam? Jejaknya Menyeret Tambang Nikel Raja Ampat. (Sumber: X/@jondhez)

POSKOTA.CO.ID - Kawasan Raja Ampat di Papua Barat Daya dikenal sebagai salah satu permata ekologis Indonesia, bahkan dunia. Lautnya yang biru jernih, gugusan pulau karst yang menakjubkan, serta kekayaan hayati laut yang menjadi rumah bagi lebih dari 1.300 spesies ikan dan 600 jenis karang, membuat wilayah ini dijuluki sebagai “The Last Paradise on Earth.” Namun, sebutan tersebut kini terancam akibat ekspansi industri pertambangan nikel yang tengah berlangsung di wilayah ini.

Masyarakat sipil, aktivis lingkungan, hingga tokoh adat Papua telah menyuarakan penolakan atas keberadaan tambang nikel di Raja Ampat.

Mereka menuntut Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk menghentikan secara permanen kegiatan pertambangan nikel di kawasan tersebut.

Baca Juga: KTP Dicatut untuk Pinjaman Online? Begini Cara Blokir dan Melaporkannya

Desakan Penghentian Tambang: Suara dari Bawah

Desakan masyarakat bukan tanpa alasan. Mereka khawatir bahwa kehadiran industri tambang akan menghancurkan ekosistem yang telah lama dijaga.

Tidak hanya berpotensi merusak terumbu karang, namun juga dapat mencemari perairan, menghancurkan hutan lindung, serta mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang bergantung pada alam.

Lebih dari itu, aktivitas tambang berisiko memunculkan bencana ekologis seperti longsor, sedimentasi laut, dan rusaknya biota endemik. Dalam konteks global, kehancuran Raja Ampat juga akan merusak reputasi Indonesia sebagai negara biodiversitas tinggi.

Perusahaan di Balik Operasi: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Salah satu perusahaan yang paling disorot dalam isu ini adalah PT GAG Nikel, yang telah beroperasi sejak tahun 2008 dan sepenuhnya diakuisisi oleh PT Aneka Tambang Tbk (Antam). PT GAG Nikel disebut telah mendapatkan izin operasi dari Kementerian ESDM pada tahun 2017.

Namun, menurut laporan dari berbagai sumber, operasi perusahaan tersebut diduga turut menyebabkan perubahan besar terhadap bentang alam Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag.

Menteri ESDM saat ini, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa operasi PT GAG Nikel telah mengikuti prosedur perizinan resmi. Namun pernyataan ini tidak serta merta meredakan keresahan publik, mengingat banyak pihak menganggap bahwa perizinan formal tidak selalu menjamin perlindungan ekologis.

JKW Mahakam dan Dewi Iriana: Kapal dalam Pusaran Polemik

Polemik tambang nikel semakin panas ketika beredar informasi mengenai kapal-kapal yang diduga mengangkut hasil tambang nikel dari kawasan Raja Ampat. Dua nama kapal yang paling banyak disebut adalah JKW Mahakam dan Dewi Iriana.

Sebuah unggahan di platform X (dulu Twitter) oleh akun @Aqfiazfan menyebutkan bahwa mayoritas muatan ornikel (ore nikel) dari pulau-pulau di Raja Ampat diangkut oleh kedua kapal tersebut. Unggahan itu pun viral dan memicu rasa ingin tahu publik mengenai siapa pemilik sebenarnya dari kapal-kapal itu.

Beberapa laporan menyebut bahwa kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana dimiliki oleh anak usaha dari PT IMC Pelita Logistik Tbk, perusahaan publik yang bergerak di bidang logistik kelautan. Namun hingga kini belum ada klarifikasi resmi dari pihak perusahaan terkait aktivitas kedua kapal tersebut di perairan Raja Ampat.

Transparansi dan Tanggung Jawab Sosial

Ketiadaan transparansi mengenai data kapal, jalur distribusi hasil tambang, serta identitas pemiliknya memperkeruh situasi. Masyarakat menuntut agar pemerintah mempublikasikan data secara terbuka demi mencegah spekulasi liar dan dugaan pelanggaran hukum.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tambang (KMSRT), pemerintah seharusnya bertindak lebih progresif dengan melakukan audit lingkungan dan menyusun kebijakan yang berfokus pada keberlanjutan ekosistem, bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Dalam konteks tata kelola sumber daya alam, prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dari masyarakat adat setempat harus menjadi syarat utama sebelum izin pertambangan diberikan.

Raja Ampat: Antara Konservasi dan Ekonomi

Dilema utama yang dihadapi saat ini adalah tarik menarik antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Di satu sisi, Indonesia tengah gencar mengembangkan industri baterai listrik yang membutuhkan pasokan nikel dalam jumlah besar. Di sisi lain, kerusakan ekologis yang ditimbulkan dari aktivitas tambang bisa bersifat permanen.

Raja Ampat, sebagai kawasan konservasi laut nasional dan pusat ekowisata, seharusnya menjadi zona larangan tambang (no-go zone). Potensi pendapatan dari pariwisata berkelanjutan bisa jauh lebih besar dan tahan lama dibandingkan dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Baca Juga: Kezia Ivanka Viral Usai Bawa BMW M4 Adu Cepat Lawan WHOOSH di Tol Cipularang, Siapakah Dia?

Panggilan untuk Aksi Nasional

Kontroversi tambang nikel di Raja Ampat dan keterlibatan kapal pengangkut seperti JKW Mahakam serta Dewi Iriana telah membuka mata publik terhadap tantangan besar dalam tata kelola lingkungan hidup Indonesia.

Saat ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk membuktikan komitmen mereka terhadap agenda pembangunan berkelanjutan.

Langkah-langkah yang mendesak untuk dilakukan mencakup:

  • Moratorium izin tambang di kawasan konservasi.
  • Audit independen terhadap semua aktivitas tambang di Raja Ampat.
  • Peninjauan ulang seluruh izin yang sudah diterbitkan sejak 2017.
  • Penguatan partisipasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.

Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga milik dunia sebagai salah satu kawasan biodiversitas laut terbesar yang masih tersisa. Kerusakan yang terjadi di sana tidak hanya menjadi isu nasional, melainkan juga mencoreng nama Indonesia di mata dunia.

Mengutamakan pelestarian Raja Ampat adalah bentuk tanggung jawab antar-generasi. Sudah saatnya pemerintah Indonesia meletakkan keberlanjutan ekologis di atas keuntungan sesaat.

Jika tambang nikel terus berlangsung tanpa kontrol dan transparansi yang ketat, maka bukan tidak mungkin julukan “Surga Terakhir di Bumi” hanya akan tinggal kenangan dalam catatan sejarah.


Berita Terkait


News Update