Merger yang dilakukan ByteDance dan GoTo pada akhir 2024 lalu menjadi solusi unik untuk menanggapi pembatasan dari pemerintah Indonesia terhadap layanan e-commerce asing.
Dalam kesepakatan tersebut, GoTo menjadi pemegang saham pasif di perusahaan patungan baru, sementara ByteDance memegang kendali operasional penuh terhadap entitas hasil merger.
Langkah ini memungkinkan TikTok Shop untuk melanjutkan kembali layanan e-commerce yang sebelumnya ditangguhkan akibat larangan pemerintah.
Baca Juga: Viral Jadwal Persib Bandung vs Manchester United 2025 Tersebar di TikTok, Ini Rangkuman Faktanya
Tujuan dari regulasi tersebut adalah untuk melindungi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri dari dominasi platform asing yang dinilai memiliki kekuatan finansial dan teknologi jauh lebih besar.
Namun, dampak dari merger ini juga menuai sorotan dari otoritas persaingan usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia baru-baru ini mengumumkan hasil investigasi mereka yang menyatakan adanya peningkatan signifikan dalam konsentrasi pasar pasca penggabungan TikTok Shop dan Tokopedia.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
Dalam tanggapannya, KPPU menyerukan agar entitas hasil merger tidak melakukan preferensi diri (self-preferencing), praktik penetapan harga predator, maupun pembatasan metode pembayaran dan logistik yang dapat merugikan konsumen dan pelaku usaha lain.
Persaingan Ketat di Pasar E-Commerce
Indonesia merupakan salah satu pasar utama dalam strategi ekspansi ByteDance di sektor e-commerce Asia Tenggara.
Negara ini menyumbang basis pengguna terbesar bagi TikTok Shop, meskipun menghadapi persaingan ketat dari pemain besar lain seperti Shopee (Sea Group) dan Lazada (anak usaha Alibaba Group).
Meskipun TikTok Shop telah mengalami pertumbuhan pesat sejak diluncurkan, keberlanjutan bisnisnya masih diuji oleh berbagai tantangan.