POSKOTA.CO.ID - Ayam Goreng Widuran adalah salah satu rumah makan legendaris di Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
Didirikan pada tahun 1973, restoran ini menempati bangunan sederhana di Jalan Sutan Syahrir No. 71. Dikelola oleh Indra, seorang pengusaha kuliner keturunan Tionghoa, Ayam Goreng Widuran dikenal luas karena kelezatan ayam goreng kremesnya dan telah menjadi bagian dari identitas kuliner kota Solo selama lebih dari lima dekade.
Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konsumsi makanan halal, restoran ini belakangan menuai sorotan publik terkait status kehalalannya.
Baca Juga: Mau Tahu Berapa Saldo BPJS Ketenagakerjaan Kamu? Ini Cara Ceknya secara Online di HP
Munculnya Isu Penggunaan Lard dan Kebingungan Konsumen
Isu kehalalan Ayam Goreng Widuran pertama kali mencuat melalui ulasan pengunjung di Google Maps. Beberapa ulasan menyebutkan adanya dugaan bahwa restoran ini menggunakan lard lemak babi yang dilelehkan dalam proses memasak.
Kecurigaan ini diperkuat dengan tekstur kremesan ayam yang dianggap "terlalu gurih dan renyah", serta rasa bumbu yang khas dan mendalam, sehingga muncul anggapan bahwa cita rasa tersebut mungkin berasal dari penggunaan bahan non-halal.
Meski begitu, restoran tetap mencantumkan logo HALAL dalam spanduk dan bannernya, yang memunculkan kebingungan di kalangan konsumen Muslim.
Informasi yang tidak sinkron antara rasa, dugaan penggunaan bahan, dan branding halal ini kemudian menyulut perdebatan di berbagai platform media sosial.
Klarifikasi Resmi dari Pihak Manajemen
Setelah isu kembali mencuat di jagat maya, pihak manajemen Ayam Goreng Widuran akhirnya angkat suara. Dalam pernyataan resmi yang dirilis melalui media sosial dan spanduk di depan outlet, mereka menyampaikan permohonan maaf kepada publik dan mengakui bahwa makanan yang disajikan bersifat non-halal.
Sebagai bentuk tanggung jawab, restoran kini telah mencantumkan tulisan “NON-HALAL” secara terbuka di seluruh media promosi dan outlet.
Langkah ini diambil untuk menghindari kesalahpahaman di masa mendatang, khususnya bagi konsumen yang memiliki pertimbangan agama dalam memilih makanan.