Penelitian dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa gangguan suasana hati, seperti depresi dan kecemasan, sering kali dipengaruhi oleh ketidakseimbangan neurotransmitter ini.
Siklus utang yang tidak kunjung usai dapat menyebabkan perasaan putus asa, rendah diri, dan rasa bersalah yang ekstrem.
Baca Juga: Terpaksa Gagal Bayar Pinjol? Simak Tahapan Proses Penagihannya
Hal ini diperparah oleh stigma sosial terhadap kegagalan finansial, yang dapat membuat seseorang merasa terisolasi.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi gangguan emosional seperti depresi dan kecemasan di Indonesia meningkat dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018, dengan faktor ekonomi sebagai salah satu pemicunya.
Kecanduan pinjol dapat memperburuk kondisi kesehatan mental yang sudah ada, seperti gangguan kecemasan atau depresi.
Baca Juga: Terpaksa Menghadapi Oknum Debt Collector Pinjol yang Kasar? Begini Cara Mengatasinya
Seseorang yang sudah mengalami tekanan psikologis mungkin menggunakan pinjol sebagai mekanisme koping untuk mengatasi masalah, tetapi justru terjebak dalam pola yang merusak.
Studi yang diterbitkan di Journal of Urban Health pada 2016 menemukan bahwa 43,3% orang yang menyalahgunakan zat adiktif juga mengalami masalah mental, menunjukkan hubungan erat antara kecanduan dan gangguan kesehatan mental.
Meskipun penelitian ini berfokus pada zat, prinsip yang sama dapat diterapkan pada kecanduan perilaku seperti pinjol.
Baca Juga: Lindungi Kontak Darurat dari Teror Debt Collector Pinjol! Ini Cara Ampuhnya, Simak Selengkapnya
Faktor Penyebab dan Risiko Kecanduan Pinjol
Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kecanduan pinjol. Faktor psikologis, seperti rendahnya harga diri, kecemasan, atau depresi, dapat mendorong seseorang mencari solusi cepat melalui pinjaman online.