Ada 6 Grup Mirip Fantasi Sedarah Teridentifikasi di Facebook, Netizen Tuntut Penutupan Segera

Minggu 18 Mei 2025, 07:15 WIB
Screenshot grup Facebook Fantasi Sedarah diikuti hampir 32 ribu anggota. (Sumber: X/tanyarlfes)

Screenshot grup Facebook Fantasi Sedarah diikuti hampir 32 ribu anggota. (Sumber: X/tanyarlfes)

POSKOTA.CO.ID - Dalam beberapa hari terakhir, publik Indonesia digemparkan oleh penemuan sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah.

Grup ini bukan sekadar ruang diskusi biasa, melainkan tempat berbagi konten menyimpang yang melibatkan fantasi seksual terhadap anggota keluarga kandung.

Lebih dari sekadar tulisan, banyak unggahan berisi gambar dan video yang mengeksploitasi anak di bawah umur, ibu, ayah, dan anggota keluarga lainnya. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap hukum, moral, dan nilai-nilai budaya Indonesia.

Baca Juga: Syahrini Raih Penghargaan UNESCO di Cannes, Berikan Pesan Menyentuh untuk Seluruh Perempuan di Dunia

Penyimpangan Digital yang Mengarah pada Eksploitasi Anak

Grup Fantasi Sedarah dengan cepat menjadi sorotan karena isi kontennya yang ekstrem. Lebih memprihatinkan lagi, jumlah anggota grup tersebut mencapai puluhan ribu orang.

Dalam grup ini, para anggota saling membagikan fantasi seksual yang menyimpang, tidak jarang dengan narasi eksplisit dan visual yang menjijikkan.

Tindakan ini bukan hanya sekadar melanggar norma sosial, namun juga berpotensi sebagai tindak pidana karena melibatkan unsur pornografi, eksploitasi anak, dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Tanggapan Masyarakat dan Desakan Penindakan

Penemuan grup ini bukan hanya menyita perhatian publik biasa, namun juga memicu reaksi dari kalangan influencer, aktivis digital, dan kreator konten.

Banyak dari mereka yang secara terbuka mengecam keberadaan grup tersebut dan mendesak pihak berwajib untuk segera menindak para pelaku di balik pembentukan dan pengelolaan komunitas tersebut.

Respons ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama generasi digital, semakin sadar akan pentingnya menjaga ekosistem internet yang sehat, aman, dan bebas dari konten destruktif.

Aksi Cepat Aparat Penegak Hukum dan Komdigi

Menanggapi keresahan publik, Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya melalui penyidik Ipda Maridhi menyampaikan bahwa penyelidikan atas grup Fantasi Sedarah sedang berjalan.

Pernyataan tersebut disampaikan pada Jumat, 16 Mei 2025, dalam tayangan video yang diunggah melalui akun TikTok @forumkeadilan.law.

Penyelidikan ini menjadi titik awal untuk membongkar jaringan penyimpangan yang memanfaatkan platform digital untuk tujuan yang membahayakan.

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Dirjen Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, menyatakan bahwa pihaknya telah memblokir akses terhadap enam grup Facebook serupa.

Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan terhadap anak-anak dan kelompok rentan agar tidak terpapar konten yang bisa merusak perkembangan moral, mental, dan emosional.

Minimnya Transparansi dan Tantangan Pengawasan

Meski enam grup telah diblokir, publik mempertanyakan kurangnya transparansi dari Komdigi terkait identitas grup-grup tersebut. Tidak adanya rincian mengenai nama dan aktivitas grup serupa menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kembali komunitas serupa di platform lain atau dengan nama baru.

Pengawasan ruang digital memang menghadapi tantangan besar. Algoritma media sosial, perlindungan privasi pengguna, serta keterbatasan hukum internasional menjadikan pemberantasan konten seperti ini tidak bisa dilakukan secara instan.

Peran Facebook dan Tanggung Jawab Platform Digital

Sebagai platform yang menjadi wadah terbentuknya grup penyimpangan ini, Facebook juga mendapat sorotan tajam.

Publik menuntut agar perusahaan induk Meta bertanggung jawab atas kelemahan sistem pengawasan mereka. Penggunaan algoritma untuk mendeteksi konten berbahaya masih belum cukup untuk mencegah terbentuknya komunitas gelap yang berkembang diam-diam di balik privasi grup tertutup.

Dalam banyak kasus, media sosial seperti Facebook hanya bereaksi setelah sebuah grup menjadi viral atau dilaporkan oleh pengguna dalam jumlah besar.

Padahal, tanggung jawab perusahaan digital bukan hanya dalam merespons keluhan, tetapi mencegah terbentuknya ruang penyimpangan sejak dini.

Perlindungan Anak dan Bahaya Normalisasi Penyimpangan

Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari kasus ini adalah keterlibatan anak-anak. Banyak unggahan dalam grup tersebut memperlihatkan konten yang mengeksploitasi anak di bawah umur secara visual dan naratif.

Hal ini tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga menciptakan lingkungan digital yang berbahaya, di mana penyimpangan seksual terhadap anak dapat dianggap sebagai sesuatu yang dapat didiskusikan secara terbuka.

Jika tidak ditindak secara serius, fenomena seperti ini dapat membuka jalan bagi normalisasi penyimpangan seksual di ruang digital. Ini menjadi ancaman nyata bagi perlindungan anak di era internet yang semakin terbuka.

Baca Juga: SALDO DANA GRATIS Rp220.000 Bisa Anda Cairkan ke Dompet Elektronik Minggu 18 Mei 2025, SELAMAT YA!

Urgensi Literasi Digital dan Peran Keluarga

Kasus grup Fantasi Sedarah seharusnya menjadi alarm keras bagi orang tua dan pendidik tentang pentingnya literasi digital dan pengawasan anak di internet. Banyak anak dan remaja yang memiliki akses bebas ke media sosial tanpa kontrol orang tua yang memadai. Dalam situasi seperti ini, risiko mereka terekspos atau bahkan terlibat dalam grup penyimpangan menjadi lebih besar.

Orang tua perlu memahami bahwa tanggung jawab moral dan edukatif mereka kini meluas hingga ke dunia digital. Memantau aktivitas daring anak bukan berarti melanggar privasi, tetapi bentuk nyata kepedulian terhadap keselamatan dan perkembangan mental mereka.

Penemuan grup Facebook Fantasi Sedarah membuka lembaran kelam dalam potret etika digital masyarakat. Ketika media sosial menjadi wadah bagi penyimpangan ekstrem yang merusak nilai moral dan hukum, maka intervensi dari negara dan masyarakat sipil harus berjalan seiring.

Blokir akses, penyelidikan hukum, serta desakan publik harus ditindaklanjuti dengan penguatan regulasi, pengawasan teknologi, dan edukasi literasi digital. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin ruang digital akan dipenuhi oleh grup-grup serupa yang menyebarkan racun moral dan membahayakan generasi masa depan.


Berita Terkait


News Update