POSKOTA.CO.ID - Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwanya menegaskan bahwa prosedur vasektomi dalam hukum Islam dinyatakan haram apabila bertujuan untuk pemandulan permanen.
Hal ini ditegaskan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. K.H. Asrorun Ni’am Sholeh, dalam keterangannya.
Asrorun mengungkapkan bahwa ketetapan tersebut didasarkan pada hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang pernah digelar di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tahun 2012.
“Saat ini, hukum vasektomi adalah haram, kecuali ada alasan syar’i yang dibenarkan seperti kondisi kesehatan tertentu,” jelas Asrorun.
Lebih lanjut, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, K.H. Abdul Muiz Ali, menyatakan bahwa alat kontrasepsi sebaiknya digunakan untuk pengaturan kelahiran, bukan sebagai metode pemandulan permanen.
Ia juga menegaskan bahwa kontrasepsi tidak boleh dijadikan alasan untuk menjalani pola hidup yang bertentangan dengan ajaran agama.
Muiz menambahkan, fatwa tersebut diputuskan dengan memperhatikan ketentuan syariat Islam, perkembangan teknologi medis, serta kaidah ushul fikih seputar penggunaan metode kontrasepsi pria atau yang dikenal sebagai medis operasi pria (MOP).
“Vasektomi secara prinsip adalah tindakan menuju kemandulan, dan menurut pandangan syariat, itu dilarang,” ujarnya.
Namun, hukum mengenai vasektomi bisa berubah seiring perkembangan teknologi medis. Dalam keputusan Ijtima yang sama, disebutkan bahwa apabila teknologi memungkinkan saluran sperma yang telah diputus untuk disambung kembali (rekanalisasi), maka hukumnya bisa berbeda asalkan memenuhi sejumlah syarat.
Beberapa syarat yang ditetapkan di antaranya, tindakan vasektomi tidak boleh melanggar ketentuan syariat, tidak menyebabkan kemandulan permanen, serta harus ada jaminan medis bahwa fungsi reproduksi dapat dipulihkan.
Selain itu, tindakan tersebut juga tidak boleh membahayakan pelakunya dan tidak termasuk dalam program kontrasepsi permanen.
Meski demikian, MUI menyatakan bahwa hingga saat ini teknologi rekanalisasi masih tergolong sulit dan belum mampu memberikan hasil yang sepenuhnya efektif dalam memulihkan kesuburan pria.
“Faktanya, prosedur rekanalisasi hingga saat ini masih susah dilakukan dan belum bisa menjamin fungsi reproduksi kembali normal seperti semula,” ungkap Muiz.
Selain itu, proses rekanalisasi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga tingkat keberhasilannya tidak bisa mencapai angka 100 persen. Ditambah lagi, biaya yang diperlukan untuk prosedur ini jauh lebih mahal dibanding operasi vasektomi itu sendiri.
Atas dasar itulah, MUI meminta agar pemerintah tidak gencar mengampanyekan vasektomi secara terbuka dan massal kepada masyarakat.
Baca Juga: Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Ajukan Vasektomi untuk Penerima Bansos, Begini Tanggapan Mensos Gus Ipul
Sebelumnya, Dedi Mulyadi sempat memicu perdebatan publik dengan ide bahwa vasektomi bisa dijadikan persyaratan bagi pria yang ingin menerima bantuan dari pemerintah daerah. Ia bahkan menyatakan siap memberi insentif sebesar Rp 500 ribu bagi warga yang bersedia menjalani prosedur tersebut.
Alasan Dedi sederhana, biaya persalinan, khususnya melalui operasi caesar, seringkali membebani pemerintah daerah karena jumlahnya bisa mencapai Rp 15 juta hingga Rp 25 juta per persalinan, yang umumnya terjadi pada kelahiran anak keempat atau kelima.
Menurut Dedi, tingginya angka kelahiran turut memperparah angka kemiskinan karena bantuan sosial pemerintah lebih banyak tersedot untuk keluarga dengan anak banyak.
Baca Juga: Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Wacanakan Vasektomi Jadi Syarat Penerima Bantuan Sosial
Ia menilai, suami seharusnya turut bertanggung jawab dalam program keluarga berencana, bukan hanya dibebankan kepada perempuan.
“Kalau belum mampu membiayai kelahiran, kehamilan, dan pendidikan anak, jangan dulu punya anak. Itu bagian dari tanggung jawab,” katanya beberapa waktu lalu.
Ia berharap ke depan, penerima bansos mulai dari bantuan persalinan, listrik subsidi, pangan non-tunai, perumahan, hingga beasiswa anak, bisa disertai syarat vasektomi bagi pria di keluarga tersebut.
Namun hingga saat ini, ide tersebut masih menuai polemik, khususnya dari kalangan ulama yang menilai kebijakan itu bertentangan dengan hukum agama.