Sering dikatakan kritik itu bagaikan obat kuat. Kritik itu seperti vitamin, terasa pahit, tetapi menyehatkan. Ada juga yang mengatakan kritik itu pengawal jiwa agar kita selalu terjaga dan terpelihara, tidak tergelincir kepada hal-hal buruk , menyesatkan atau menimbulkan keburukan.
“Lantas bagaimana kalau kritik itu bukan mengawal, bukan untuk memperbaiki, ,malah merusak dan menimbulkan banyak keburukan?,” kata bung Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan bang Yudi.
“Nah, ini yang mau kita obrolin. Kita yang hidup di lingkungan sosial mana pun tak lepas dari kritik, dengan sadar atau tanpa sadar acap pula mengkritik orang lain,” kata Yudi.
“Jika demikian, maka terimalah kritik dengan legowo, lapangan dada, tidak disikapi dengan penuh kemarahan dan kebencian,” kata mas Bro.
“Bagi yang hendak mengkritik, berilah kritik yang konstruktif, membangun dan penuh tanggung jawab, syukur – syukur dengan memberikan solusi. Bukan untuk menghasut, menyebarkan kebohongan dan kebencian,” tambah mas Bro.
“Tapi tak jarang orang mengkritik karena didasari ketidaksukaan dengan mencari-cari kesalahan dan kekurangannya,” kata Yudi.
“Malah bagus,” kata mas Bro.
“Loh bagusnya di mana,” tanya Yudi.
“Dengan mengkritik orang lain itu buruk, jelek atau salah, maka sang pengkritik akan berusaha tidak melakukan perbuatan buruk seperti yang telah disampaikan dalam kritiknya,” jelas mas Bro.
“Tapi kadang, kritik yang berkembang di media sosial sangat menghebohkan. Malah dinilai kelewat batas,” kata Heri.
“Itu dinamika berekspresi. Terlebih dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru menyebutkan kritik yang disampaikan di ruang digital tidak dapat dipidana hanya karena timbulkan kegaduhan atau perdebatan di media sosial,” kata mas Bro.