Sebelum berlayar, Safyyudin juga menyiapkan berbagai kebutuhan selama melaut. Di antaranya beras, mi instan, kopi, cemilan, sayur-mayur, dan bumbu dapur. Termasuk kotak berobat P3K untuk jaga-jaga jika ada Anak Buah Kapal (ABK) yang sakit.
Beberapa waktu lalu, ketika berada di tengah laut dan ingin kembali ke Muara Angke, Safyyudin dihadapkan pada ombak besar hingga ketinggian 6 meter. Dia dan krunya pun bersandar di perairan Makassar, Sulawesi Selatan, menunggu waktu yang tepat untuk pulang.
"Risiko yang akan kami hadapi besar. Apalagi jika terkena sakit, susah cari pengobatan. Seadanya saja obat yang dibawa karena jauh dari pulau," kata dia.
Ada pengalaman tersendiri saat dirinya berlayar di Samudera selama berbulan-bulan. Sebab, sejauh mata memandang hanyalah lautan lepas, tiada suara bising kendaraan. "Ikan yang bisa ditangkap jika keadaan normal bisa mencapai 180 ton untuk semua jenis ikan, sampai ikan hiu dan ada ikan besarnya segede orang dewasa," jelasnya.
Namun ia juga pernah mengalami pengalaman buruk, yaitu diganggu perompak dan bahkan oknum petugas perairan yang meminta ikan tangkapan. "Pernah menghadapi perompak yang menggunakan perahu kecil, mereka minta ikan. Juga oknum petugas perairan bermodus pengecekan surat-surat tapi malah minta ikan," ujarnya.
Ketika berlayar ke perairan Papua, Safyyudin hanya mendapatkan sinyal komunikasi di tiga pulau, yakni Mandalika, Makassar, dan Pulau Enu. Selama di atas kapal, yang menjadi panduan selama berlayar antara lain Kompas dan sistem pemosisi global (GPS) dengan radius lima sampai sepuluh mil.
Pada waktu tertentu saat berlayar, Safyyudin tidak bisa memejamkan mata untuk tidur selama tiga hari. Ini terjadi kalau sedang banyak ikan di laut. "Kalau lagi banyak ikan, kita enggak bisa tidur tiga hari, karena harus terus menarik jaring. Juga jika turun hujan, seluruh kru istirahat di dek kapal sambil ditutupi plastik. Meski tidak nyaman tapi dinyaman-nyamankan," kata dia.
Kini, Safyyudin beserta 14 kru dan seorang kapten, hanya mengisi kegiatan bongkar muat tanpa melaut. Di waktu-waktu ini jugalah, mereka bisa menjalin komunikasi yang intensif dengan keluarganya.
"Paling jika tidak berlayar, seluruh kru mengisi kesibukan dengan bongkar muat kapal dari segala keperluan, mulai dari kebutuhan logistik, Bahan Bakar Minyak (BBM), sama telponan dengan keluarga," tuturnya.
Terpisah Andi, 25 tahun, nelayan asal Indramayu Jawa Barat, bertahun-tahun berlayar ke laut untuk menangkap ikan agar bisa menghidupi keluarga di kampung. Istri dan satu anaknya berada di kampung di daerah Indramayu, Jawa Barat. Dia setiap tujuh bulan sekali berlayar mencari ikan. Jika sudah bersandar, baru bisa mengirim uang ke kampung.
"Itu juga dari hasil penjualan ikan yang ditangkap dijual. Ya kadang-kadang dapat ikan, juga kadang tidak dapat. Sesuai musim saja. Jika lagi cuaca buruk seperti sekarang agak sulit mendapatkan ikan," ucapnya.