Kopi Pagi Harmoko: Kepemimpinan Tribrata

Senin 01 Jul 2024, 08:03 WIB

“Kian dibutuhkan pejabat yang dekat dengan rakyat, mengetahui isi denyut nadi masyarakat, memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memprioritaskan kepentingan pribadinya dan kerabatnya semata.”

-Harmoko-

Cukup banyak falsafah kepemimpinan yang menjadi rujukan bagi masyarakat, bagi para pejabat negeri kita. Tak terkecuali yang diadopsi dari falsafah kepemimpinan Jawa, di antaranya Tribrata yang dicetuskan RM. Said bergelar Kanjeng Gusti Mangkunegara atau Pangeran Samber Nyawa.

Tribrata atau dikenal istilah kata mutiara Tri Dharma ini, tak ada kaitan langsung dengan konsep Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman utama institusi Polri yang memasuki usia ke-78 pada 1 Juli 2024.

Meski begitu, boleh jadi ada benang merah sebagai rujukan, mengingat Tribrata, warisan Pangeran Sambernyawa, bisa menjadi acuan bagi semua pemimpin negeri ini, termasuk jajaran Polri dari pusat hingga satuan terdepan Polsek dan Pospol.

Falsafah Tribrata yang dicetuskan Pangeran Sambernyawa memiliki tiga prinsip; pertama, Rumongso melu handarbeni (wajib ikut memiliki); kedua, Melu Hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas); dan ketiga, Mulat Sarira Hangrasa Wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran).

Banyak pihak menilai falsafah ini tidak akan pernah usang, tetapi akan terus berkembang, diaktualisasikan sesuai dengan eranya, kapan saja, termasuk era kini saat masa transisi menuju pemerintahan baru serta masa mendatang.

Falsafah ini terlihat sederhana, tetapi sejatinya mengandung makna yang luas dan mendalam, jika mengartikannya tidak secara harfiah.
Makna simbolis melu handarbeni, bahwa tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin di level manapun harus dirasakan, disadari sebagai miliknya. Dengan begitu, segala tugas yang diberikan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab tinggi, bukan setengah hati. Bukan menjadi sepenuh hati setelah anak buahnya meraih prestasi.

Kata melu hangrungkebi dapat diartikan seorang pemimpin harus selalu siap untuk berkorban dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya dengan segala tantangan atau risikonya. Bukan sebaliknya, mengorbankan anak buahnya untuk menanggung risiko atas perbuatan yang dilakukan oleh pimpinannya. 

Sementara mulat sarira hangrasa wani dapat bermakna seorang pemimpin harus bersedia secara terbuka untuk melihat kesalahan yang terjadi dalam dirinya dan melakukan tindakan atas kesalahan tersebut, bukan malah menutupi atau melindungi diri dengan jabatannya.

Ketiga prinsip tadi merupakan perpaduan dari nilai-nilai demokrasi, solidaritas, loyalitas, dan kebersamaan, tak ubahnya prinsip kegotong- royongan.

News Update