Cukup beralasan , jika kemampuan meraih empati menjadi kata kunci bagi para calon pemimpin bangsa dan calon wakil rakyat, sebagai tahap awal menuju kemenangan.
Tidak berlebihan sekiranya adu empati boleh diuji, ketimbang menebar banyak janji yang beraroma mimpi.
Sering kita dengar istilah "empati" yang dalam kehidupan sehari - hari diartikan sebagai upaya ikut merasakan derita orang lain seolah - olah derita diri sendiri.
Berarti ada kemampuan melihat derita orang lain, melibatkan emosi dan kesulitan yang dialami seseorang, kemudian ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Itulah empati. Itu pula yang hendaknya dikedepankan oleh para calon pemimpin bangsa dan calon wakil rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dengan empati akan tergerak hati ikut membantu dan menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain. Tidak sebatas rasa iba dan kasihan sebagaimana simpati.
Mengapa? Simpati sebatas menyampaikan perhatian, tetapi tidak mengungkapkan kesedihan bersama. Maknanya, jika simpati, lazimnya, hanya berhenti pada rasa iba dan kasihan sebagai bentuk perhatian, tetapi empati akan berlanjut pada tindakan membantu terhadap mereka yang sedang membutuhkan bantuan.
Empati akan berlanjut kepada tindakan nyata dalam kehidupan sehari- hari, bukan sebatas ungkapan rasa prihatin dan kesedihan. Bukan retorika membangun citra, tanpa aksi nyata.
Sementara kita semua tahu, aksi nyata yang dibutuhkan negeri saat ini, bukan retorika melalui kampanye. Aksi nyata adanya kepedulian kepada rakyat akan menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan pada pilpres dan pileg mendatang. Ketimbang janji yang belum pasti dapat terpenuhi.
Mari menebar empati, bukan janji, bukan pula mimpi. Beradu gagasan bukan kekuatan. (Azisoko).