Tak hanya sampai di situ, Achmad turut menyoroti aksi serupa yang kerap ditemukan pada wilayah kota-kota besar seperti DKI Jakarta.
Kendati di tengah era digitalisasi, modus kejahatan dengan mengiming-imingi anak di bawah umur masih masif dilakukan para tindak kriminal.
Kriminolog ini menilai modus serupa kerap terjadi karena pelaku jarang terungkap atau dituntaskan oleh pihak kepolisian.
Alhasil, modus kejahatan tersebut merangsang pelaku lain untuk melakukannya di lokasi yang terbilang ramai dengan aktivitas masyarakat.
"Artinya kan pelaku yang ditangkap dengan pelaku yang tidak ditangkap masih banyak yang lolos. Jadi si pelaku ini melihat selama ini kalau kejahatan seperti ini jarang tertangkap. Merangsang pelaku lain," ungkapnya.
Selain itu, ia menilai langkah memetakan lokasi turut dilakukan oleh para pelaku kejahatan sebelum melangsungkan aksinya.
Menurut kriminolog ini, pemetaan itu dilakukan agar pelaku dapat melihat peluang dan menargetkan korban agar aksi yang dilakukannya lancar tanpa hambatan.
Bahkan, Achmad menilai era digitalisasi saat ini kerap mempertontonkan aksi kejahatan dengan modus serupa.
Hingga aksi tersebut dinilai dapat merangsang para pelaku kejahatan lain mengingat sulit terungkapnya kasus kejahatan modus merampas barang mewah korban anak di bawah umur.
"Pelaku lain melihat aksi seperti ini kecil sekali peluang untuk ditangkapnya. Terus yang kedua pelaku juga sudah memetakan dan memiliki target karena CCTV atau tingkat keamanan rendah terus anak-anak pas main tidak dijaga hal inilah yang dilihat menjadi kesempatan," katanya.
Sementara itu, anak di bawah umur yang kerap menjadi korban dinilai dirinya sebagai orang yang rentan untuk melakukan perlawanan saat kejahatan berlangsung.
Karenanya ia menyarankan agar para orang tua dan masyarakat dapat lebih peka memperhatikan sang anak kala bermain di lingkungannya.