JAKARTA - Agenda reformasi politik pasca Orde Baru sejak tahun 1998 telah menghasilkan sejumlah capaian demokratik yang mendasar. Misalnya terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis termasuk pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, adanya kebebasan berserikat dan berpendapat serta keberhasilan berbagai indikator demokrasi lainnya.
Tetapi sayangnya, reformasi tersebut belum mampu menyentuh tubuh partai politik. Dalam praktinya, partai politik kini cenderung oligarkis dan klik personal berbasis kuasa modal. Bahkan kemudian juga ditandai makin menguatnya kecenderungan kartelisasi politik.
“Padahal partai politik adalah kanal yang kini tersedia bagi masyarakat untuk menyaurkan aspirasi dan hak politiknya, parpol adalah aktor penting dalam keseluruhan sistem politik di Indonesia,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada Fokus Diskusi Kelompok dengan topik "Reformasi Partai Politik" yang digelar Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
Berbagai studi menujukkan adanya pergeseran dalam peran partai politik. Saat ini partai politik seperti dikutip dari Slater dan Kukridho Ambardi, dinilai gagal menciptakan mekanisme check and balances dalam menjalankan fungsi pengawasan dan perimbangan yang menjadi substansi demokrasi. Kondisi ini merupakan jebakan pertanggungjawaban (accountability trap) yang diderita oleh demokrasi Indonesia, yang mendorong tumbuhnya perilaku kartel partai politik. Kartelisasi politik ini menyebabkan partai politik lebih mementingkan perburuan rente (rent seeking) daripada kompetisi memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi untuk kepentingan umum.
Karena itu Pontjo menilai reformasi partai politik terutama pelembagaan partai politik seharusnya menjadi salah satu agenda penting ke depan. Pelembagaan partai politik ditujukan untuk membangun partai politik yang lebih demokratis, berkualitas, modern, responsif, mampu beradaptasi dan otonom, sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara maksimal.
Sementara itu Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Dr Narsullah Yusuf mengatakan reformasi semula diharapkan akan membawa kesejahteraan masyarakat. Tetapi pada praktiknya muncul suara-suara nyinyir dari masyarakat yang menganggap reformasi telah menciptakan korupsi dan KKN semakin menjadi, reformasi membutuhkan biaya tinggi, hingga reformasi dinilai sebagai estafet dari rezim satu ke rezim lainnya.
“Menjadi kewajiban kita bersama untuk menjawab dan mencari solusi terkait suara-suara nyinyir praktik reformasi tersebut,” kata Nasrullah.
Ketua Umum AIPI Dr Alfitra Salamm mengatakan reformasi di tubuh parpol sangat penting mengingat sebagian besar keputusan politik itu berada di Senayan dan itu adalah keputusan parpol.
FGD itu sendiri menampilkan sejumlah nara sumber seperti Prof. Dr. Ramlan Surbakti , Prof. Dr. Lili Romli, Dr. Sri Budi Eko Wardani, Prof. Dr. Katjung Marijan, dan Yudi Latif, Ph. D.(*/fs)