POSKOTA.CO.ID - Seorang pria asal Ghana yang sempat viral di berbagai platform media sosial karena meramalkan kiamat pada Hari Natal kini kembali menjadi sorotan. Pria yang dikenal dengan nama daring Ebo Jesus atau Ebo Noah tersebut menyatakan bahwa akhir dunia yang ia prediksi telah “ditunda” atas kehendak Tuhan.
Klaim terbaru ini disampaikan melalui sebuah video yang diunggah beberapa jam setelah tanggal yang sebelumnya ia sebut sebagai hari kehancuran umat manusia.
Dalam pernyataannya, Ebo Noah mengaku menerima wahyu baru yang menyebutkan bahwa Tuhan memberikan waktu tambahan bagi umat manusia untuk bertobat dan mempersiapkan keselamatan.
Baca Juga: Larangan Kembang Api Tahun Baru 2026 di Jakarta Resmi Dikeluarkan Pemprov DKI
Ia juga mengatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk memperluas proyek pembangunan bahtera kayu yang selama ini ia bangun sebagai simbol dan sarana penyelamatan, mirip dengan kisah Bahtera Nuh dalam Kitab Kejadian.
Ebo Noah, pria berusia sekitar 30 tahun, pertama kali menarik perhatian publik internasional sejak pertengahan tahun ini. Melalui video-video yang ia unggah di TikTok, YouTube, dan Instagram, Ebo mengklaim telah menerima penglihatan ilahi tentang bencana global berupa hujan tanpa henti selama tiga tahun, yang akan memicu banjir besar berskala dunia mulai 25 Desember.
Menurut pengakuannya kala itu, banjir tersebut akan menyerupai Banjir Besar dalam Alkitab. Ia bahkan menyebut bahwa Tuhan telah memberinya instruksi rinci mengenai cara bertahan hidup, termasuk membangun bahtera sebagai tempat perlindungan.
Video berjudul “What Will Happen and How It Will Happen” yang diunggah pada Agustus lalu menjadi salah satu konten paling viral, dengan jutaan penayangan dan ribuan komentar dari berbagai negara.
Namun, bahtera yang ditampilkan dalam rekaman tersebut tampak jauh lebih kecil dibandingkan deskripsi Bahtera Nuh dalam teks Alkitab, yang disebut memiliki panjang lebih dari 500 kaki. Secara teknis, proyek tersebut juga menuai kritik tajam karena tidak dilengkapi mesin, sistem navigasi, maupun struktur yang memadai untuk bertahan dari banjir besar dalam jangka panjang.
Klaim Ebo Noah tidak didukung oleh bukti ilmiah, data meteorologi, ataupun peringatan resmi dari lembaga iklim internasional. Meski demikian, ia tetap berhasil menarik sejumlah pengikut setia yang percaya bahwa nubuat tersebut adalah peringatan spiritual, bukan ramalan ilmiah.
Di sisi lain, gelombang skeptisisme muncul dari warganet, akademisi, hingga tokoh agama. Banyak yang menilai klaim tersebut sebagai bentuk misinformasi berbasis agama yang berpotensi menimbulkan kepanikan publik. Sebagian netizen bahkan menyebut proyek bahtera itu sebagai eksploitasi kepercayaan demi popularitas digital.
“Jika sumber daya itu digunakan untuk membantu masyarakat miskin atau korban bencana nyata, dampaknya akan jauh lebih terasa,” tulis salah satu komentar populer di media sosial.
Baca Juga: Rekomendasi Hp Layar AMOLED Harga Cuman Rp2 Jutaan Terbaik 2025
Dalam video terbarunya, Ebo Noah menyampaikan pesan singkat namun penuh keyakinan. “Tuhan telah memberi kita waktu,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa proyek bahtera kini akan diperluas agar dapat menampung siapa pun yang ingin diselamatkan. Pernyataan tersebut kembali memicu perdebatan luas, mulai dari respons humor, kritik tajam, hingga kekhawatiran serius tentang dampak psikologis dan sosial dari klaim apokaliptik di era digital.
Terlepas dari kebenaran klaimnya, kisah Ebo Noah mencerminkan keresahan global yang lebih luas. Di tengah ketidakpastian iklim, konflik geopolitik, dan krisis kemanusiaan, narasi tentang akhir zaman kerap menemukan momentumnya.
Bagi sebagian orang, nubuat semacam ini menjadi simbol ketakutan. Bagi yang lain, ia menawarkan harapan akan keselamatan dan makna spiritual.
Hingga kini, tidak ada indikasi ilmiah bahwa dunia akan menghadapi bencana global seperti yang diklaim Ebo Noah. Pernyataan tentang penundaan kiamat justru menambah daftar panjang klaim apokaliptik yang gagal terwujud.
Meski demikian, kisah ini menjadi pengingat penting tentang kekuatan media sosial dalam membentuk opini, sekaligus tanggung jawab bersama untuk memilah antara keyakinan, fakta, dan fiksi.
