JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Persatuan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta masih mempertanyakan terkait efektivitas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah diloloskan untuk menjadi Peraturan Daerah (Perda).
Dalam hal ini, PHRI mempertanyakan terkait kesesuaian rancangan yang disahkan dalam paripurna dengan hasil fasilitasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sebagai salah satu stakeholder tersebut, PHRI berharap baik eksekutif maupun legislatif dapat mematuhi hasil fasilitasi Kemendagri.
Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengharapkan Perda KTR yang lahir harus benar-benar berimbang, realistis, dan tidak merusak iklim usaha pariwisata, perhotelan, dan restoran yang merupakan sektor strategis dan padat karya di DKI Jakarta.
Baca Juga: Polda Metro Jaya Siapkan Patroli Amankan Rumah Warga Selama Libur Natal dan Tahun Baru
Disisi lain, Iwantono berujar bahwa PHRI sendiri mengapresiasi hasil fasilitasi Kemendagri yang dapat diakses publik secara transparan.
"Kami melihat bahwa fasilitasi tersebut telah mengakomodasi aspirasi pelaku usaha, antara lain: penghapusan tempat hiburan malam sebagai kawasan tanpa rokok, pengecualian hotel, restoran, pasar, dan tempat kegiatan ekonomi dari perluasan KTR, serta penghapusan larangan total reklame rokok di ruang fisik," kata Iwantono dalam keterangannya, Rabu, 24 Desember 2025.
"PHRI Jakarta dengan tegas meminta DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mematuhi hasil fasilitasi tersebut, baik dalam pembahasan maupun implementasinya," sambung dia.
PHRI pun memberikan catatan penting terkait Rapat Paripurna yang diselenggarakan oleh DPRD DKI Jakarta.
Baca Juga: Tuntut Kenaikan UMK, Ribuan Buruh Blokir Akses Tol Balaraja Timur
Iwantono menegaskan bahwa hotel dan restoran bukan ruang publik pasif, melainkan ruang usaha dengan karakter layanan, segmentasi tamu, dan standar internasional.
Oleh karena itu, menurut Iwantono, sektor ini tidak tepat disamakan dengan fasilitas umum non-komersial. Smoking area di hotel dan restoran tertentu tetap dibutuhkan, khususnya untuk tamu wisatawan dan kegiatan MICE.
"Pengaturan seharusnya berbasis standar teknis dan pengelolaan, bukan pelarangan total," jelas dia.
Jika Perda KTR yang didorong terlalu restriktif, sebut Iwantono, maka akan berisiko menurunkan daya saing Jakarta dibanding kota tujuan wisata lain seperti Bangkok, Kuala Lumpur, hingga Singapura.
Baca Juga: Supeltas Diklaim Efektif Urai Kemacetan di Jalur Puncak, Polisi Larang Minta Uang dari Wisatawan
"Pelaku usaha tidak boleh dibebani fungsi penegakan hukum. Pengawasan dan sanksi harus proporsional, bertahap, dan mengedepankan edukasi,” ucapnya.
“Begitu juga dengan ketentuan larangan iklan digital harus jelas definisi dan batasannya, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau berdampak pada promosi event dan kerja sama usaha yang sah," katanya.
Sikap PHRI Jakarta, lanjutnya, tegas menolak setiap bentuk kebijakan KTR yang berpotensi mengganggu operasional hotel dan restoran, menurunkan tingkat hunian dan konsumsi, serta mengancam keberlangsungan usaha dan lapangan kerja.
Menurutnya, jangan sampai Perda KTR yang disahkan kemudian menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor dan pelaku pariwisata.
"Maka, PHRI Jakarta mendorong DPRD dan Pemprov DKI Jakarta untuk menetapkan Perda KTR yang selaras dengan hasil fasilitasi Kemendagri, memberikan kepastian dan perlindungan usaha serta menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan ekonomi daerah," ucap Iwan. (pan)