JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DPRD Jakarta, Ali Lubis mengusulkan regulasi tersebut ditinjau ulang.
Ia menilai masih ada substansi pasal-pasal yang berdampak negatif pada unsur masyarakat di antaranya para pedagang kecil, warung tradisional, pedagang kelontong, UMKM dan lainnya.
"Sebagai anggota Pansus, ini harus ditunda pengesahannya. Dalam proses pembahasan kemarin, saya sebagai anggota Pansus mengakui belum semua stakeholder diundang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk soal dampak ekonomi," kata Ali, Sabtu, 20 Desember 2025.
Ali menyampaikan, suara masyarakat yang memang bergelut pada sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) perlu diakomodir.
Baca Juga: Pelaku Industri Event Protes Tak Dilibatkan dalam Raperda KTR yang Larang Total Iklan Rokok
Legislator Gerindra ini menyebut, dalam pembuatan regulasi, tidak boleh ada pihak-pihak yang tidak diajak bicara padahal mereka adalah bagian dari stakeholder terdampak.
"Dari sisi ekonomi, ini perlu ada kajian khusus. Spiritnya memang adalah untuk kesehatan, namun peraturan ini harus berkeadilan sosial. Tidak berdampak pada pelaku usaha, pedagang kecil lainnya," katanya.
Ali menambahkan jika partisipasi publik harus didengar dan ditampung. Apalagi dalam Raperda KTR, penolakan datang dari berbagai asosiasi, artinya perlu adanya pengkajian secara komprehensif.
"Apalagi mengingat ada stakeholder yang lupa kita ajak bicara sehingga ini menjadi alasan logis agar Ranperda KTR ini ditunda pengesahannya.Kalau bisa jangan buru-buru," ucapnya.
Baca Juga: Raperda KTR Jakarta Larang Iklan Rokok, Pelaku Periklanan Protes
"Kepada teman-teman lain di DPRD semoga juga dapat mendukung saran saya ini, karena memang masih ada hal-hal lain yang luput," ujarnya.
Pengamat Hukum Tata Negara, Ali Rido, menyambut baik rencana penundaaan demi peninjauan ulang Ranperda KTR yang disampaikan Ali Lubis.
Ia menilai ada dua catatan penting terkait penyusunan Ranperda KTR ini. Pertama, terkait naskah akademik (NA).
"NA ini sebagai primary identity dari peraturan perundang-undangan. NA ini perlu disusun ulang karena masih memasukkan peraturan yang secara prinsip sudah tidak berlaku. Contoh: masih ada narasi UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan berbagai aturan lain yang secara prinsip pokok sudah tidak berlaku," jelas dia.
Selanjutnya, tambah Ali, yaitu konsepsi masyarakat tidak hanya sebagai objek, melainkan subjek aktif dalam pengambilan keputusan menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan undang-undang.
"Itu merupakan keharusan, maka ketika disampaikan ada pihak yang belum dilibatkan dalam pembahasan Raperda KTR ini, saya membaca upaya ini adalah kepatuhan terhadap Putusan MK No 91 Tahun 2020, bahwa meaningfull participation harus dipenuhi," katanya.
Baca Juga: PHRI Jakarta Soroti Ranperda Rokok, Minta Pemerintah Dengarkan Aspirasi Pelaku Usaha
Ali Rido juga menegaskan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ada 11 putusan yang menyangkut ekosistem pertembakauan. Putusan MK tersebut semuanya menegaskan bahwa tembakau adalah produk legal.
Oleh karena itu, regulasi yang berkaitan dengan ekosistem pertembakauan, fokusnya adalah pengaturan, bukan pelarangan ataupun pelarangan total.
“Kemudian jika diturunkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, secara kronologis regulasi, sebenarnya yang dikehendaki adalah mengatur aktivitas, bukan produknya. Karena produknya jelas adalah entitas yang legal," tuturnya.