Ia menjelaskan, sistem panen di wilayah tersebut biasanya dilakukan dengan dua cara, yakni sistem pemancingan atau penjualan per kilogram kepada pembeli.
“Kalau pemancingan, 1 hektare bisa dapat 6 sampai 7 juta. Kalau ke pembeli bisa Rp25.000-Rp30.000 per kilo. Tapi tahun ini putus harapan, enggak mungkin, habis semua,” jelasnya.
Sayudin mengungkapkan, banjir rob tahun ini jauh lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Dulu paling 5 tahun sekali. Tapi sekarang hampir setahun sekali, bahkan setahun bisa tiga kali. Air laut besar, bahaya juga,” ungkapnya.
Kerusakan ekosistem laut dan pesisir juga dinilai memperburuk kondisi tambak warga.
“Ekosistem dari alam udah enggak mungkin. Banyak sekali di laut itu yang ditutup pagar. Jadi kami enggak bisa mengandalkan budidaya alami. Semua bibit harus beli. Dari udang beli, bibit ikan beli. Jadi kalau banjir gini ya habis,” keluhnya.
Hingga kini, petani tambak di Sembilangan masih berjuang memulihkan kondisi lahan mereka sambil berharap pemerintah hadir memberikan solusi agar kejadian serupa tidak terus berulang setiap tahun.
Sebelumnya, Kepala Dusun 3 Desa Samudra Jaya, Nurhasan, mengatakan, banjir rob tahun ini membawa kerugian besar. Para petani tambak yang bersiap panen ikan dan udang menjelang tahun baru kini harus menelan pil pahit.
“Kurang lebihnya ada 300 KK dengan 600 jiwa. Karena adanya banjir rob ini, masyarakat ya gagal panen. Yang rencananya akan panen ikan, udang untuk Tahun Baru, tapi dengan terjadinya banjir rob ini ya gagal panen,” ujarnya
Meski banjir sudah berlangsung selama lima hari dengan ketinggian air mencapai 50 hingga 80 sentimeter, Nurhasan mengaku belum ada bantuan maupun kunjungan dari pihak pemerintah.
“Belum pernah ada bantuan di sini. Dan tahun 2025 ini sangat luar biasa banjir rob-nya. Melebihi dari tahun-tahun yang sudah lewat,” tegasnya.
Salah satu warga, Saiful 35 tahun, mengatakan banjir rob sepanjang tahun ini terjadi lebih dari delapan kali, jauh lebih parah dibanding tahun sebelumnya yang hanya dua kali.
