Polri: Mayoritas Anak Terlibat Kerusuhan Demo Hanya Ikut-ikutan

Rabu 05 Nov 2025, 06:30 WIB
Potret aksi massa di area Brimob Kwitang pada Jumat, 29 Agustus 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Ginanjar Nugraha)

Potret aksi massa di area Brimob Kwitang pada Jumat, 29 Agustus 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Ginanjar Nugraha)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Bareskrim Polri mengungkap sebanyak 332 anak terlibat dalam kerusuhan saat demonstrasi yang terjadi pada Agustus lalu.

Lebih dari 90 persen dari mereka adalah pelajar, mulai dari SMP hingga SMA atau SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket. dan ikut aksi bukan karena niat kriminal, melainkan karena ikut-ikutan dan termobilisasi tanpa memahami konsekuensi hukum dari tindakannya.

“Sebagian besar terseret bukan karena niat kriminal, tetapi karena ikut-ikutan, termobilisasi, atau tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakannya,” ujar Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Nunung Syaifuddin, dalam keterangannya, dikutip, Rabu, 5 November 2025.

Baca Juga: Menteri PPPA Ajak Perlindungan Anak Terlibat Kerusuhan Demo Diperkuat

Berdasarkan data yang dipaparkannya, jumlah anak yang terlibat kerusuhan paling banyak berasal dari wilayah hukum Polda Jawa Timur sebanyak 144 anak, disusul Polda Jawa Tengah 77 anak, dan Polda Metro Jaya 36 anak.

Sementara itu, Polda Jawa Barat mencatat 34 anak, dan sisanya tersebar di wilayah DIY, NTB, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali, serta Sumatera Selatan.

Dari total 332 anak tersebut, sebanyak 160 anak telah menjalani diversi, 37 anak ditangani melalui pendekatan restorative justice, 28 anak masih berada di tahap satu, dan 73 anak di tahap dua. Adapun 34 anak lainnya telah dinyatakan P21 atau siap diserahkan ke kejaksaan.

Nunung menegaskan perlunya sinergi dan kebijakan lintas sektoral dalam menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Ia mengingatkan agar proses hukum tidak mengabaikan sisi kemanusiaan serta masa depan anak-anak tersebut.

Baca Juga: Guru Madrasah di Pandeglang Respons Menag seusai Didemo

“Kita perlu membuat SOP, koordinasi antarlembaga, dan menerapkan diversi serta restorative justice. Selain itu, juga perlu ada rencana aksi yang konkret dan bisa diterapkan di seluruh wilayah Indonesia,” tegas Nunung.

Nunung juga menyoroti pentingnya langkah pencegahan melalui edukasi dan literasi digital. Menurutnya, penguatan peran keluarga dan sekolah menjadi kunci agar anak-anak tidak mudah terprovokasi atau terlibat dalam aksi-aksi yang berisiko hukum.


Berita Terkait


News Update