JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai banjir hingga kemacetan di ibu kota merupakan ketidakbecusan pemerintah daerah menata kota secara adil, berkelanjutan, dan berorientasi pada manusia serta lingkungan.
“Banjir dan macet bukan sekadar masalah teknis, tetapi sudah menyentuh persoalan hak warga negara. Banyak warga kehilangan tempat tinggal, menderita penyakit akibat banjir, hingga menanggung dampak polusi udara dari kemacetan parah,” kata pengacara publik dari LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo dalam keterangannya, dikutip Minggu, 2 November 2025.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta mencatatkan 54 rukun tetangga (RT) di Jakarta terendam banjir pada 31 Oktober 2025. Sementara itu, tanggul rusak mengakibatkan luapan Kali Krukut hingga mengakibatkan banjir.
Menurut Alif, banjir dan kemacetan adalah gejala dari lemahnya sistem tata kota. Sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, menjadikannya kota dengan laju penurunan tanah tercepat di dunia antara 3 hingga 10 cm per tahun.
Baca Juga: BPBD Jakarta Kerahkan Personel di Banjir Jati Padang Jaksel
Sementara itu, banjir besar pernah menenggelamkan 75 persen wilayah Jakarta. Lebih dari 450 ribu orang mengungsi, dan menimbulkan kerugian ekonomi hingga 900 juta dolar AS.
Selain itu, kata Alif, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta kini mencapai 24 juta unit, bertambah sekitar 7 juta dalam empat tahun terakhir.
79,1 persen komuter masih mengandalkan kendaraan pribadi, sehingga polusi udara bertambah, penurunan produktivitas, dan kerugian ekonomi hingga Rp100 triliun setiap tahun.
"LBH Jakarta juga menegaskan bahwa banjir dan kemacetan termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) karena mengganggu hak atas tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan hidup yang sehat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 serta Undang-Undang HAM," ucap dia.
Baca Juga: Urai Kemacetan, Rekayasa Lalin Diterapkan di Exit Tol Margonda 1 Depok
Dalam pandangan LBH, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta memiliki tanggung jawab hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana serta memulihkan kondisi pascabencana.
