TEBET, POSKOTA.CO.ID - Peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) sekaligus Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, menilai program Kampung Redam yang diluncurkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jakarta, di kawasan Manggarai merupakan langkah positif.
Namun, ia mengingatkan agar program tersebut tidak berhenti pada tataran seremonial semata, melainkan disertai dengan pemahaman mendalam terhadap akar masalah sosial di masyarakat.
“Kalau sebagai salah satu cara yang diikhtiarkan oleh siapapu, baik pemerintah maupun nonpemerintah itu bagus-bagus saja. Tapi yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana memahami konflik atau kehidupan sosial di masyarakat itu sendiri,” ujar Yahya saat dihubungi wartawan Poskota, Kamis, 30 Oktober 2025.
Menurut Yahya, upaya pemerintah menghadirkan kedamaian dan keadilan sosial melalui program Kampung Redam harus diawali dengan studi lingkungan yang komprehensif.
Tanpa memahami penyebab utama terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat, program seperti ini dikhawatirkan hanya akan menjadi proyek yang menghabiskan anggaran tanpa memberikan dampak nyata.
“Kalau hal-hal mendasar seperti itu tidak dipahami, ya apapun program pemerintah hanya akan jadi kegiatan seremonial. Setelah acara selesai, masyarakat kembali ke kondisi semula,” jelas Yahya.
Selain itu, Yahya juga menyoroti kebiasaan pemerintah yang kerap terburu-buru meluncurkan program penanganan konflik tanpa riset mendalam. Padahal, menurutnya, studi sosial diperlukan agar kebijakan yang dibuat benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat di lapangan.
“Selama ini kalau ada konflik di masyarakat, pemerintah langsung turun tangan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seharusnya dilakukan studi lingkungan dulu, nanti dari hasil studi itu baru bisa diketahui apa yang harus pemerintah kerjakan,” kata Yahya.
Baca Juga: Kongres Istimewa Kaum Betawi 2025 Satukan Langkah Warga Betawi Hadapi Jakarta sebagai Kota Global
Dengan demikian, apapun programnya harus tepat sasaran agar bisa efektif. Ia mencontohkan, jika penyebab utama gesekan sosial di masyarakat disebabkan oleh anak-anak muda yang belum tertampung di sekolah, kurangnya lapangan kerja, atau jurang sosial yang semakin lebar, maka solusi yang diberikan pemerintah berfokus pada pemberdayaan dan pemerataan kesempatan.
“Kalau problemnya di situ, maka apapun program yang dibuat, tanpa menyentuh akar masalah, hasilnya hanya akan sementara. Setelah program selesai, masyarakat kembali ke titik awal,” tutur Yahya.
Meski demikian, Yahya menegaskan dirinya tetap mendukung setiap niat baik pemerintah dalam menciptakan kedamaian di lingkungan masyarakat. Hanya saja, ia meminta agar program seperti Kampung Redam disusun berdasarkan aspirasi masyarakat, bukan sekadar dari perspektif birokrasi.
Karena, keberhasilannya akan sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah memahami dinamika masyarakat setempat dan melibatkan mereka dalam proses pelaksanaan program.
“Prinsipnya kita mendukung niat baik pemerintah. Tapi harus diiringi dengan studi-studi yang mendalam. Pemerintah perlu menyerap aspirasi masyarakat, terutama anak muda dan tokoh lokal, agar mereka tidak hanya dijadikan objek program, melainkan ikut berperan sebagai subjek dalam perubahan sosial,” ucapnya.
Program Kampung Redam yang diinisiasi Kemenkumham Jakarta diketahui bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan keadilan sosial di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan, yang selama ini dikenal rawan konflik sosial.
Program ini menjadi langkah strategis pemerintah dalam memperkuat penerapan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) di tingkat masyarakat.
"Melalui program ini, pemerintah ingin menghadirkan lingkungan masyarakat yang aman, damai, dan saling menghormati perbedaan," kata Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Mikael Azedo Harwito.
