Pemeriksaan rutin di posyandu, sekolah, maupun puskesmas juga perlu dilakukan, terutama bila ada riwayat obesitas atau keluarga dengan diabetes.
Vevie mengingatkan orang tua agar waspada terhadap gejala diabetes yang sering tidak disadari.
“Ciri-cirinya anak sering haus (polidipsi), sering buang air kecil (poliuri) bahkan ngompol malam, sering lapar (polifagi) tapi berat badan turun, anak tampak lesu dan mudah sakit. Kalau ada tanda-tanda ini, segera lakukan pemeriksaan,” tegasnya.
Baca Juga: 8 Bahan Alami yang Dapat Membantu Mengendalikan Gula Darah Tinggi pada Penderita Diabetes
Menurut Vevie, diabetes melitus tipe 1 terjadi karena faktor imunologi (gangguan autoimun). Pada kondisi ini, sistem imun anak justru menyerang sel pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin.
“Pada DM tipe 1 kadar insulin darah kurang dari normal akibat penurunan produksi insulin oleh pankreas,” ungkap Vevie.
Selain itu, ada juga faktor risiko seperti riwayat keluarga (genetik), infeksi virus tertentu (misalnya rubella, enterovirus), hingga faktor lingkungan seperti paparan zat kimia atau makanan yang memicu respons autoimun.
Sementara itu, diabetes melitus tipe 2 pada anak disebabkan oleh resistensi insulin, yakni ketika tubuh tidak merespons insulin dengan baik meski kadarnya normal.
“Sedangkan anak dengan diabetes tipe 2 rata-rata disebabkan obesitas dan pola hidup tidak sehat,” jelas Vevie.
Ia menyebutkan, faktor dominan lainnya adalah kelebihan berat badan, kurang aktivitas fisik, pola makan tinggi gula dan lemak, rendah serat, riwayat keluarga dengan DM tipe 2, hingga perubahan hormonal saat pubertas yang membuat insulin sulit bekerja.
Untuk pencegahan, Dinkes menyiapkan strategi promotif dan preventif. Antara lain dengan sosialisasi di sekolah dan masyarakat tentang gaya hidup sehat, penyuluhan rutin untuk orang tua, serta kampanye Isi Piringku dan GERMAS.