POSKOTA.CO.ID - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi tidak akan menambah kuota impor bahan bakar minyak (BBM) untuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta.
Sebagai solusi atas kelangkaan stok yang terjadi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan agar entitas swasta membeli pasokan dari PT Pertamina (Persero).
”Kenapa Pertamina, Pertamina itu representasi negara. Sedangkan, kalau pemerintah memberi tambahan impor lagi, bisa memperburuk neraca dagang,” tegasnya di Jakarta, Kamis, 18 September 2025.
Kebijakan ini mendapatkan penegasan kembali setelah pertemuan tertutup antara pemerintah, Pertamina, dan perwakilan SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo pada Jumat, 19 September 2025.
Baca Juga: Siapa Riza Chalid? Gasoline Godfather yang Kini Jadi Buronan Kasus Korupsi Pertamina
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa SPBU swasta setuju untuk membeli BBM jenis base fuel (bahan bakar dasar sebelum pencampuran aditif) dari Pertamina.
”Kami baru selesai rapat dengan swasta dan Pertamina. Ada 4 hal mereka setuju dan harus setuju untuk kolaborasi dengan Pertamina, syaratnya harus basis base fuel, belum kecampur dalam bentuk teh. Kalau awalnya Pertamina mau jual jadi teh.
Katanya air panas aja. Nanti dicampur di tengki masing-masing ini sudah disetujui,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers terpisah.
Kuota Impor Sudah Dinaikkan, Stok Nasional Aman
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah sebenarnya telah meningkatkan kuota impor untuk perusahaan swasta pada tahun 2025 ini menjadi 110% dibandingkan realisasi impor tahun 2024. Artinya, jika sebuah perusahaan sebelumnya mengimpor 1 juta kiloliter, tahun ini kuotanya menjadi 1,1 juta kiloliter.
"Kuotanya itu 110% dibandingkan tahun lalu. Sekali lagi saya katakan bahwa, contoh perusahaan A dia mendapat 1 juta kiloliter di 2024. Di 2025, dia mendapat 1 juta plus 10%. Berarti kan 1 juta plus 100 ribu. Artinya apa? Semuanya dapat dong," ujar Bahlil.
Dia menegaskan stok BBM nasional secara keseluruhan masih dalam kondisi aman, yakni cukup untuk 18 hingga 21 hari ke depan. Kelangkaan hanya terjadi di sejumlah SPBU swasta karena mereka telah menghabiskan kuota impor mereka sebelum akhir tahun.
Baca Juga: Alasan Izin Tambang Nikel PT Gag Tidak Dicabut, Bahlil: Sesuai Arahan Presiden
Proses Koordinasi dan Implementasi
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mempertemukan SPBU swasta dan Pertamina untuk menyinkronkan data kebutuhan dan ketersediaan. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada pengajuan resmi dari pihak swasta kepada Kementerian ESDM maupun Pertamina untuk pembelian BBM.
”Belum (ada pengajuan), karena di SPBU swastanya sedang melakukan internal analisis,” tutur Laode.
Laode juga menepis kekhawatiran akan adanya monopoli dan penambahan biaya. Dia menegaskan bahwa mekanisme pembelian ini murni kerja sama bisnis (business to business) antara SPBU swasta dan Pertamina, dengan pengawasan pemerintah untuk memastikan tidak ada tambahan biaya yang memberatkan.
"Nggak, itu kan sudah dirapatkan sama Menteri, nggak boleh ada penambahan biaya macam-macam," imbuhnya.
Baca Juga: Harta Kekayaan Riza Chalid Berapa? Sosok Raja Minyak yang Jadi Tersangka Kasus Pertamina
Respons dari Pihak Swasta
Di sisi lain, pernyataan dari pihak swasta sebelumnya mengindikasikan bahwa kelangkaan diperkirakan masih akan berlangsung dalam waktu yang belum dapat dipastikan.
President Director & Managing Director Mobility Shell Indonesia, Ingrid Siburian, mengungkapkan komitmen perusahaannya untuk memastikan kelancaran distribusi.
”Namun, Shell Indonesia senantiasa berupaya untuk memastikan kelancaran pendistribusian dan penyediaan produk BBM di jaringan SPBU Shell,” katanya.
Shell juga menyatakan akan terus berkoordinasi intensif dengan Kementerian ESDM dan stakeholder terkait untuk menjaga keberlangsungan pasokan.
Kebijakan pemerintah ini, menurut Bahlil, selain untuk mengamankan pasokan, juga sejalan dengan amanat UU Pasal 33 dan Keppres yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, termasuk BBM, harus dikuasai oleh negara.
"Kita kan tidak mau cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini semuanya diserahkan kepada teori pasar. Nanti ada apa-apa gimana?" tambah Bahlil.