JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kasus campak di Jakarta mengalami peningkatan. Tercatat, 218 kasus campak dan 63 kasus rubella yang sudah terkonfirmasi sejak Januari hingga September 2025.
Merespons hal itu, pengamat kesehatan, Dicky Budiman, mengingatkan bahwa penyakit campak atau measles merupakan salah satu infeksi virus paling menular di dunia.
Dengan angka reproduksi dasar (R0) mencapai 12-18, satu anak yang terinfeksi dapat menularkan hingga 18 orang lain.
“Campak ini sangat cepat menular. Gejalanya demam tinggi, batuk pilek, mata merah, hingga ruam dari wajah ke badan. Yang berbahaya adalah komplikasi seperti pneumonia, diare berat, dan radang otak yang bisa berujung kematian, terutama pada balita bergizi buruk atau dengan daya tahan tubuh lemah,” ujar Dicky kepada Poskota, Sabtu, 13 September 2025.
Menurut Dicky, selain tingkat penularannya tinggi, virus campak juga bisa bertahan di udara hingga dua jam. Kondisi ini membuat wabah cepat menyebar, apalagi di daerah padat penduduk.
“Sebetulnya penyakit ini bisa dicegah dengan vaksinasi dua dosis. Dengan cakupan minimal 95 persen di setiap komunitas, anak-anak bisa terlindungi dari kematian akibat campak,” kata Dicky.
Baca Juga: Kasus Campak di Jakarta Meningkat, Warga Diimbau Perkuat Imunisasi dan PHBS
Selain vaksinasi, langkah pendukung lain seperti pemberian vitamin A, deteksi dini kasus, isolasi, serta pelacakan kontak juga wajib dilakukan.
Lebih lanjut, Dicky menegaskan, penurunan cakupan imunisasi bukan semata karena kelompok antivaksin, melainkan gabungan faktor programatik dan sosial.
“Warisan pandemi membuat layanan imunisasi terganggu. Banyak anak yang zero dose atau under immunized. Di daerah kepulauan seperti Sumenep, hambatan transportasi, tenaga kesehatan terbatas, rantai dingin, jadwal yang tak pasti, hingga keterbatasan anggaran menjadi kendala. Ditambah hoaks soal halal-haram vaksin yang melemahkan kepercayaan masyarakat,” katanya.
Selain itu, dikatakan Dicky, ketakutan efek samping vaksin tanpa konseling memadai serta kompetisi kebutuhan ekonomi rumah tangga juga membuat banyak orang tua menunda imunisasi anak.
Adapun data menunjukkan, hingga kini terdapat 40 Kejadian Luar Biasa (KLB) di 37 kabupaten/kota.
Menurut Dicky, pola penyebaran yang multilokasi ini bisa menjadi gelombang nasional bila respon tidak cepat.
“Secara epidemiologi, risiko nasionalnya nyata. Banyak provinsi menunjukkan transmisi berkelanjutan, angka reproduksi efektif (RT) di atas 1, dan adanya kantong kerawanan besar," ungkap dia.
"Maka kondisi saat ini lebih tepat disebut lonjakan multiprovinsi dengan risiko perluasan nasional,” lanjutnya.
Dicky menambahkan, ambang herd immunity untuk campak berada di angka minimal 93-95 persen.
“Tidak cukup rata-rata nasional 95 persen. Harus merata di setiap desa atau kelurahan. Kalau ada kantong yang cakupannya hanya 70-80 persen, campak pasti menembus wilayah tersebut,” kata Dicky.
Ia menekankan tiga bulan ke depan sangat krusial. Pemerintah harus menetapkan kecamatan prioritas berdasarkan insiden kasus dan cakupan imunisasi, memperkuat distribusi vaksin dan vitamin A dengan stok aman, menyediakan dashboard mingguan terbuka, hingga melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk melawan hoaks.
Baca Juga: Lonjakan Kasus Campak-Rubella di Jakarta, Cengkareng dan Cilincing Jadi Sorotan
“Respon 90 hari harus double track: padamkan kantong KLB sekarang sekaligus mengembalikan imunisasi rutin. Kalau tidak, wabah multiprovinsi ini bisa menyatu jadi gelombang nasional,” ujar Dicky.
Lebih jauh, Dicky menilai kelompok antivaksin keras jumlahnya kecil. Namun, kelompok ragu-ragu atau vaccine hesitancy justru lebih berpengaruh.
“Hanya 10-20 persen orang tua yang ragu sudah cukup menurunkan perlindungan komunitas," ucapnya.
Ia juga menekankan perlunya komunikasi yang transparan mengenai keamanan vaksin serta forum terbuka agar masyarakat bisa bertanya langsung.
"Karena itu perlu pendekatan kultural, bahasa lokal, testimoni orang tua, pesan tokoh agama, hingga pernyataan resmi MUI soal halal vaksin,” kata dia. (cr-4)