Adapun data menunjukkan, hingga kini terdapat 40 Kejadian Luar Biasa (KLB) di 37 kabupaten/kota.
Menurut Dicky, pola penyebaran yang multilokasi ini bisa menjadi gelombang nasional bila respon tidak cepat.
“Secara epidemiologi, risiko nasionalnya nyata. Banyak provinsi menunjukkan transmisi berkelanjutan, angka reproduksi efektif (RT) di atas 1, dan adanya kantong kerawanan besar," ungkap dia.
"Maka kondisi saat ini lebih tepat disebut lonjakan multiprovinsi dengan risiko perluasan nasional,” lanjutnya.
Dicky menambahkan, ambang herd immunity untuk campak berada di angka minimal 93-95 persen.
“Tidak cukup rata-rata nasional 95 persen. Harus merata di setiap desa atau kelurahan. Kalau ada kantong yang cakupannya hanya 70-80 persen, campak pasti menembus wilayah tersebut,” kata Dicky.
Ia menekankan tiga bulan ke depan sangat krusial. Pemerintah harus menetapkan kecamatan prioritas berdasarkan insiden kasus dan cakupan imunisasi, memperkuat distribusi vaksin dan vitamin A dengan stok aman, menyediakan dashboard mingguan terbuka, hingga melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk melawan hoaks.
Baca Juga: Lonjakan Kasus Campak-Rubella di Jakarta, Cengkareng dan Cilincing Jadi Sorotan
“Respon 90 hari harus double track: padamkan kantong KLB sekarang sekaligus mengembalikan imunisasi rutin. Kalau tidak, wabah multiprovinsi ini bisa menyatu jadi gelombang nasional,” ujar Dicky.
Lebih jauh, Dicky menilai kelompok antivaksin keras jumlahnya kecil. Namun, kelompok ragu-ragu atau vaccine hesitancy justru lebih berpengaruh.
“Hanya 10-20 persen orang tua yang ragu sudah cukup menurunkan perlindungan komunitas," ucapnya.
Ia juga menekankan perlunya komunikasi yang transparan mengenai keamanan vaksin serta forum terbuka agar masyarakat bisa bertanya langsung.