Profil Subhan Pala, Sosok Biasa yang Mendadak Viral Usai Gugat Gibran Rp125 Triliun

Sabtu 06 Sep 2025, 08:25 WIB
Siapa Subhan Pala? Warga Sipil yang Berani Menyeret Gibran ke Meja Hijau Rp125 Triliun (Sumber: Instagram/@subhanpalal)

Siapa Subhan Pala? Warga Sipil yang Berani Menyeret Gibran ke Meja Hijau Rp125 Triliun (Sumber: Instagram/@subhanpalal)

POSKOTA.CO.ID - Nama Subhan Pala mungkin tidak pernah muncul di panggung politik atau layar kaca. Ia bukan pejabat, bukan selebritas, bahkan tidak dikenal sebagai aktivis publik. Namun, keberaniannya menggugat Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat sosok ini mendadak viral di jagat maya.

Yang membuat publik terperangah bukan hanya karena sasarannya adalah seorang wakil presiden aktif, melainkan juga nilai tuntutannya yang mencapai Rp125 triliun. Angka ini fantastis dan sangat jarang muncul dalam perkara perdata, apalagi dilakukan oleh warga sipil terhadap pejabat negara.

Fenomena ini mengundang pertanyaan besar: siapa sebenarnya Subhan Pala? Apa dasar gugatannya? Dan mengapa ia berani menantang lembaga negara sebesar KPU serta seorang wakil presiden?

Baca Juga: Orang Tua Wajib Tahu! Begini Cara Daftar DTKS Anak Sekolah Secara Offline di Dinsos RI

Latar Belakang Gugatan: Polemik Pendidikan Gibran

Gugatan Subhan berakar dari polemik lama: apakah ijazah pendidikan Gibran memenuhi syarat konstitusional sebagai calon wakil presiden?

Menurut Subhan, Gibran tidak memiliki ijazah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diakui sistem pendidikan Indonesia. Berdasarkan data KPU, Gibran tercatat bersekolah di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004), kemudian melanjutkan ke UTS Insearch, Sydney, Australia (2004–2007).

Bagi Subhan, jalur pendidikan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai SMA sederajat. Karenanya, ia menganggap pencalonan Gibran pada Pilpres 2024 cacat hukum.

Pernyataan ini bukan hal baru. Polemik ijazah sempat memanas saat masa kampanye Pilpres, namun kemudian mereda setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sengketa hasil pemilu pada April 2024. Gugatan PDIP ke PTUN Jakarta mengenai hal serupa juga kandas pada Oktober 2024.

Namun, Subhan memilih jalur berbeda: ia mengajukan gugatan perdata di PN Jakarta Pusat, dengan objek perkara yang sama namun dimensi yang lebih luas—termasuk ganti rugi materiil dan immateriil.

Tuntutan Fantastis: Rp125 Triliun

Isi petitum gugatan Subhan cukup mencengangkan. Ia meminta hakim:

  1. Menyatakan Gibran Rakabuming Raka dan KPU melakukan perbuatan melawan hukum.
  2. Menyatakan status Gibran sebagai wakil presiden tidak sah.
  3. Menghukum kedua tergugat membayar Rp125 triliun ke kas negara.
  4. Menetapkan dwangsom Rp100 juta per hari apabila putusan tidak dijalankan.

Angka ratusan triliun ini jelas memicu kontroversi. Sebagai perbandingan, nilai tersebut hampir setara dengan APBD gabungan beberapa provinsi besar di Indonesia. Banyak yang mempertanyakan logika hukum di balik angka fantastis tersebut, meski secara teknis hukum perdata tidak membatasi nilai ganti rugi yang dapat diajukan penggugat.

Sidang Perdana: Momentum yang Ditunggu Publik

PN Jakarta Pusat telah menetapkan 8 September 2025 sebagai sidang perdana perkara ini. Agenda awal kemungkinan besar hanya memeriksa kelengkapan berkas, namun publik menanti apakah gugatan ini akan diterima atau ditolak.

Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa gugatan Subhan di PTUN Jakarta tidak diterima karena melewati tenggat waktu. Namun, jalur perdata bisa berbeda, sebab logika hukumnya tidak selalu sama.

Apapun keputusannya, sidang ini diperkirakan akan menyedot perhatian media nasional, mengingat melibatkan pejabat nomor dua di republik.

Subhan Pala: Warga Biasa dengan Nyali Besar

Sosok Subhan Pala masih penuh tanda tanya. Ia disebut sebagai warga sipil biasa, tanpa afiliasi politik jelas. Tidak ada catatan publik tentang pekerjaannya, keluarganya, atau latar belakang aktivismenya.

Namun, keberaniannya menantang Wapres dan KPU membuat banyak orang bertanya: apakah ini murni inisiatif pribadi? Atau ada kelompok tertentu di balik layar yang memberi dukungan moral maupun materiil?

Keberanian seorang warga biasa untuk melawan pejabat negara menunjukkan bahwa ruang hukum di Indonesia masih terbuka bagi siapa pun. Meski demikian, realitas politik sering kali membuat gugatan semacam ini sulit untuk benar-benar berbuah kemenangan.

Reaksi Publik: Antara Apresiasi dan Skeptisisme

Respon masyarakat atas gugatan Subhan terbelah menjadi dua:

  • Pendukung menilai langkah Subhan sebagai bentuk partisipasi sipil dalam mengawasi pejabat publik. Gugatan ini dianggap simbol bahwa warga berhak menuntut keadilan, meskipun lawannya pejabat tinggi negara.
  • Pengkritik menilai tuntutan Rp125 triliun terlalu utopis dan tidak realistis. Bahkan, ada yang menuduh gugatan ini sekadar mencari sensasi.

Dalam konteks politik, kasus ini juga menambah daftar panjang kontroversi yang melekat pada Gibran sejak awal pencalonannya. Ia sering menjadi sorotan, baik karena faktor usia, kedekatan dengan Presiden Joko Widodo, maupun legalitas pencalonan.

Langkah Subhan bisa dipandang sebagai simbol perlawanan warga terhadap elite politik. Meski peluang menang kecil, gugatan ini memberi pesan penting: jabatan publik tidak kebal dari kritik dan tuntutan hukum.

Ada dimensi psikologis yang menarik: keberanian Subhan mencerminkan frustrasi sebagian masyarakat terhadap ketidakadilan politik. Gugatan perdata dengan angka fantastis mungkin bukan hanya soal hukum, melainkan juga strategi menggugah kesadaran publik.

Di sisi lain, kasus ini menimbulkan refleksi: apakah gugatan hukum masih dipandang sebagai instrumen rasional mencari keadilan, atau sudah bergeser menjadi arena simbolik untuk mengekspresikan ketidakpuasan?

Baca Juga: Tutorial Membuat Foto AI Miniatur Motor, Tren Baru yang Viral di Medsos

Potensi Dampak: Dari Ruang Sidang ke Ruang Publik

Apapun hasil sidang nanti, gugatan ini sudah menorehkan jejak penting:

  1. Meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya validasi syarat pencalonan pejabat negara.
  2. Membuka ruang diskusi soal transparansi pendidikan pejabat publik.
  3. Menggugah literasi hukum masyarakat, bahwa gugatan sipil bisa diajukan siapa saja.
  4. Menciptakan preseden sosial, bahwa angka fantastis bisa menjadi alat simbolik dalam perlawanan hukum.

Kasus Subhan Pala vs Gibran Rakabuming Raka dan KPU adalah cermin dinamika demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ia menunjukkan bahwa ruang hukum masih terbuka bagi siapa saja, bahkan warga sipil biasa. Di sisi lain, ia menyingkap batas antara idealitas hukum dan realitas politik.

Apakah gugatan ini akan mengubah status Gibran sebagai wakil presiden? Sangat kecil kemungkinan. Namun, pesan yang lebih besar justru terletak pada keberanian seorang warga untuk menggugat elite negara. Dalam demokrasi, keberanian itu sendiri sudah merupakan kemenangan moral.


Berita Terkait


News Update