Kencangnya arus globalisasi juga potensial menghadirkan nilai-nilai budaya asing yang dengan mudah diadopsi melalui beragam cara dan sarana informasi seperti televisi, radio, dan beraneka ragam gawai yang semakin canggih.
Baca Juga: Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (1)
Jika tanpa filter yang kuat dan kerap bisa menghadirkan perilaku yang semakin jauh dari nilai-nilai budaya nasional berciri ketimuran, budaya bangsa kita.
Lantas apa yang harus dilakukan menyikapi kondisi seperti ini? Jawabnya adalah edukasi sejak dini kepada generasi era kini.
Melalui kolomnya “Kopi Pagi” edisi 28 November 2019, dengan judul “ Nasionalisme Kekikinian”, Pak Harmoko menjelaskan edukasi dan pemahaman soal nasionalisme perlu disesuaikan dengan era kekinian.
Begitu pun orientasinya tidak hanya ke dalam, penguatan identitas sebagai bangsa, tetapi juga ke luar memproklamirkan jati diri nasional Indonesia, kedaulatan bangsa Indonesia ke segenap penjuru dunia.
Maknanya ke dalam memperkuat jati diri, ke luar berani menghadapi tantangan yang menghadang. Bukan sembunyi menghindari tantangan.
Nasionalisme adalah jati diri bangsa. Jika bicara nasionalisme tentunya kita sepakat berkiblat kepada empat pilar konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ini konsensus negeri yang tidak bisa ditawar - tawar lagi. Oleh sebab itulah muncul slogan " NKRI adalah harga mati!"
Baca Juga: Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (2)
Lantas bagaimana edukasi yang selayaknya diterapkan di era sekarang? Jawabnya, pada era digital yang serba instan ini, generasi muda kurang menyukai sebuah proses panjang. Ada yang mengatakan kurang menghargai proses, tetapi sangat menghargai sebuah produk.
Menghargai hasil karya, bukan melihat karya siapa. Lebih mengapresiasi apa yang ada! Bukan apa yang diucapkan, tapi apa yang diperbuat. Bukan siapa yang mengucapkan dan siapa yang berbuat. Ini berarti mengacu kepada kreasi dan prestasi.