PONDOK MELATI, POSKOTA.CO.ID – Di tengah gencarnya alih fungsi lahan menjadi perumahan dan industri, Abdul Rosid 42 tahun, warga Kampung Sawah, Kelurahan Jatimelati, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, membuktikan bahwa bertani di kota besar bukanlah hal mustahil.
Ketua Petani Milenial Kota Bekasi ini berhasil memanfaatkan lahan terbatas di rumahnya untuk membudidayakan berbagai tanaman, termasuk buah duku endemik Bekasi dan umbi-umbian dengan metode modern.
Lulusan sekolah pertanian di Sukabumi dan Sarjana Agribisnis dari Institut Pertanian Bogor ini mengaku alasan terjun ke dunia pertanian berawal dari minimnya ketersediaan lahan di Kota Bekasi serta pengalaman pahit masa kecilnya.
"Alasan saya terjun ke dunia pertanian pertama agar saingan ke dunia kerja atau usaha tidak terlalu banyak. Yang kedua, terkait dengan perut. Karena waktu saya kecil, saya ingat betul, sering mengalami kesulitan makan. Nah, dari situlah saya merasa harus berkecimpung di bidang pertanian," ujar Rosid kepada Poskota, Jumat, 15 Agustus 2025.
Baca Juga: Gerakan Pramuka Kota Bekasi Gelar Kamping di Plaza Pemkot, Diikuti 400 Peserta
Rosid menilai, meski Kota Bekasi nyaris tak memiliki lahan persawahan, dari segi ketersediaan pangan justru termasuk yang terlengkap dibandingkan kota lainnya.
"Bayangkan, meskipun sawah dan perkebunan terbatas, dari sudut pandang komoditas pangan, Kota Bekasi adalah yang terlengkap," tegasnya.
Namun, Rosid mengatakan saat ini banyak kota besar yang mengalami krisis regenerasi petani dan maraknya alih fungsi lahan. Bahkan lahan pertanian banyak berubah jadi industri, perumahan, dan permukiman.
Rosid sendiri lahir dari keluarga petani. Kakeknya dulu memiliki sawah luas, namun semua hilang tergerus pembangunan permukiman.
"Setelah saya masuk SD, sawah itu mulai lenyap karena permintaan akan permukiman," kenangnya.
Kini, Rosid memelihara ratusan pohon duku di lingkungan rumahnya yang ada di Kampung Sawah. Dia mengatakan Kampung Sawah dulu dikenal sebagai desa penghasil buah-buahan seperti bacang, kebembem, nangka, kecapi, jamblang, dan durian. Namun, banyak yang mulai punah.
"Seiring bertambahnya penduduk, lahan-lahan itu pelan-pelan mulai menghilang. Itu sebabnya saya memikirkan bagaimana caranya agar tanaman itu bisa bertahan," ujarnya.
Baca Juga: MUI Kota Bekasi Hentikan Sementara Pengajian Umi Cinta, Pastikan tidak Ada Indikasi Penyimpangan
Ia mencangkok pohon duku, mengembangkan metode okulasi, dan memindahkannya ke pot. Bahkan, satu pohon duku pernah laku Rp400 ribu per pot. Dirinya juga kerap mensosialisasikan bagaimana cara menanam buah di pot, seperti anggur dan jambu biji, yang ternyata diminati warga.
Meski begitu, Rosid mengaku sempat diremehkan karena memilih bertani di era digital. Orang-orang menganggap bertani itu kotor, harus bersentuhan dengan tanah dan panas. Namun, tren urban farming justru meningkat saat pandemi Covid-19.
"Awalnya diremehkan, tapi ternyata bisa jadi mata pencaharian. Minimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri, kalau dikembangkan bisa jadi tambahan penghasilan," katanya.
Inovasi Rosid lainnya adalah menanam ubi jalar dengan metode hidroponik di pot 40 liter. Hasilnya, tiap pot bisa menghasilkan rata-rata 3 kilogram ubi.
"Selama Covid, saya memanen hampir 50 kilogram ubi jalar dengan teknologi penyiraman berbeda. Kalau digarap modern, ini bisa jadi daya tarik," ujarnya.
Rosid juga aktif menggunakan media sosial untuk mengedukasi warga soal pertanian, memanfaatkan sampah organik sebagai media tanam, hingga menjadi narasumber pelatihan urban farming.
Baca Juga: Wamenaker Temukan Pekerja di Bekasi Magang Bertahun-tahun Belum Diangkat
Rosid berharap generasi muda mau melihat manfaat nyata bertani. Selain menyehatkan keluarga, hasilnya bisa menjadi tambahan pendapatan. Ia menekankan pentingnya memadukan teori dari internet dengan praktik langsung.
"Pertanian itu bisa produktif, bisa menambah penghasilan, dan bisa jadi gaya hidup yang bermanfaat," pungkasnya. (cr-3)