"Seiring bertambahnya penduduk, lahan-lahan itu pelan-pelan mulai menghilang. Itu sebabnya saya memikirkan bagaimana caranya agar tanaman itu bisa bertahan," ujarnya.
Baca Juga: MUI Kota Bekasi Hentikan Sementara Pengajian Umi Cinta, Pastikan tidak Ada Indikasi Penyimpangan
Ia mencangkok pohon duku, mengembangkan metode okulasi, dan memindahkannya ke pot. Bahkan, satu pohon duku pernah laku Rp400 ribu per pot. Dirinya juga kerap mensosialisasikan bagaimana cara menanam buah di pot, seperti anggur dan jambu biji, yang ternyata diminati warga.
Meski begitu, Rosid mengaku sempat diremehkan karena memilih bertani di era digital. Orang-orang menganggap bertani itu kotor, harus bersentuhan dengan tanah dan panas. Namun, tren urban farming justru meningkat saat pandemi Covid-19.
"Awalnya diremehkan, tapi ternyata bisa jadi mata pencaharian. Minimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri, kalau dikembangkan bisa jadi tambahan penghasilan," katanya.
Inovasi Rosid lainnya adalah menanam ubi jalar dengan metode hidroponik di pot 40 liter. Hasilnya, tiap pot bisa menghasilkan rata-rata 3 kilogram ubi.
"Selama Covid, saya memanen hampir 50 kilogram ubi jalar dengan teknologi penyiraman berbeda. Kalau digarap modern, ini bisa jadi daya tarik," ujarnya.
Rosid juga aktif menggunakan media sosial untuk mengedukasi warga soal pertanian, memanfaatkan sampah organik sebagai media tanam, hingga menjadi narasumber pelatihan urban farming.
Baca Juga: Wamenaker Temukan Pekerja di Bekasi Magang Bertahun-tahun Belum Diangkat
Rosid berharap generasi muda mau melihat manfaat nyata bertani. Selain menyehatkan keluarga, hasilnya bisa menjadi tambahan pendapatan. Ia menekankan pentingnya memadukan teori dari internet dengan praktik langsung.
"Pertanian itu bisa produktif, bisa menambah penghasilan, dan bisa jadi gaya hidup yang bermanfaat," pungkasnya. (cr-3)