POSKOTA.CO.ID - Sebelum menjadi kota yang ramai, Serpong adalah kawasan hutan lebat yang dihuni satwa liar. Sungai Cisadane yang mengalir di dekat permukiman menjadi nadi kehidupan, jalur transportasi, sekaligus sarana perdagangan.
Salah satu cerita rakyat menyebutkan bahwa nama Serpong berasal dari kata semprong, alat tradisional untuk meniup bara api agar kembali menyala. Cerita ini bermula ketika suatu masa terjadi hujan berhari-hari, persediaan kayu bakar habis, dan warga harus menggunakan gulungan daun pisang kering sepanjang puluhan meter untuk menjaga api tetap hidup. Kejadian ini konon membuat kampung tersebut dikenal sebagai Kampung Semprong.
Dalam sastra Jawa, semprong disebut sebagai bumbungan bambu untuk meniup bara api di tungku tradisional. Tradisi ini bertahan hingga dekade 1930-an, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa di Serpong.
Baca Juga: Ramalan Zodiak Paling Beruntung Hari Ini 15 Agustus 2025: Dari Cancer sampai Pisces
Jejak Kolonial dan Pendudukan Jepang
Melansir dari channel Youtube @Teluk Bone, pada 1942, Jepang mengusir Belanda dari Serpong dan menghidupkan kembali nama Kademangan sebagai pusat administrasi. Meski begitu, masyarakat tetap menggunakan sebutan Serpong. Pembangunan jalur pipa gas oleh Jepang disebut “cerobong” secara fonetis salah diucapkan warga menjadi “Serpong”, memperkuat identitas nama tersebut.
Pasca-kemerdekaan pada 1945, Serpong resmi menjadi wilayah administratif kecamatan. Saat itu, kondisinya masih berupa hutan karet, dengan jalan tanah yang berlumpur di musim hujan dan berdebu di musim kemarau.
Pertempuran dan Semangat Kemerdekaan
Serpong tidak hanya menyimpan kisah damai. Pada 23 Mei 1946, wilayah ini menjadi ajang pertempuran antara laskar rakyat Tangerang-Banten melawan pasukan Belanda yang ingin memperluas kekuasaan. Meski kalah dalam persenjataan, semangat rakyat tetap membara.
Monumen peringatan seperti Tugu Proklamasi Serpong dan Monumen Palagan Lengkong menjadi saksi bisu perjuangan itu. Monumen Palagan Lengkong mengenang para kadet yang gugur pada 25 Januari 1946 dalam upaya merebut senjata dari Jepang. Kini, tugu-tugu ini telah direstorasi sebagai simbol perlawanan dan pengingat sejarah bagi generasi muda.
Transformasi Besar: Lahirnya BSD City
Perubahan dramatis dimulai pada 1989 ketika pengembang Ciputra membangun Bumi Serpong Damai (BSD) seluas 6.000 hektar. Konsepnya adalah kota mandiri dengan perumahan, pusat pendidikan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan.
Krisis ekonomi 1997 sempat menghentikan pembangunan, namun pada 2003 BSD diakuisisi oleh Sinar Mas Land dan berganti nama menjadi BSD City. Pembangunan kembali melaju pesat dengan dukungan infrastruktur strategis seperti jalan tol Serpong–Jakarta dan Serpong–Balaraja.
Serpong Masa Kini: Pusat Ekonomi dan Hunian
Kini, Serpong menjadi salah satu kawasan paling strategis di Jabodetabek. Kehidupan modern berpadu dengan sisa-sisa sejarahnya. Kawasan ini memiliki pusat perbelanjaan besar seperti AEON Mall BSD, Summarecon Mall Serpong, dan BSD Plaza.
Dari segi pendidikan, hadir universitas ternama seperti Prasetiya Mulya dan Universitas Atma Jaya BSD. Fasilitas umum, hotel berbintang, restoran internasional, hingga kawasan bisnis modern membuat nilai properti di Serpong terus meroket.
Jejak Budaya Tionghoa: Klenteng Boen Hay Bio
Di tengah kemajuan modern, Serpong menyimpan warisan budaya seperti Klenteng Boen Hay Bio, wihara tertua di wilayah ini yang dibangun pada 1694. Klenteng ini telah mengalami renovasi sepuluh kali dan menjadi pusat aktivitas keagamaan umat Buddha serta Tionghoa lokal. Perayaan ulang tahun klenteng setiap bulan keenam kalender Tionghoa menjadi agenda budaya yang meriah.
Baca Juga: SE Terbaru 13 Agustus 2025 Umumkan Tenaga Honorer Lolos PPPK, Berikut Langkah yang Wajib Dilakukan
Kepadatan dan Keberagaman
Berdasarkan data 2023, Kecamatan Serpong berpenduduk 163.451 jiwa dengan kepadatan hampir 1.000 jiwa per km². Masyarakatnya beragam Islam menjadi agama mayoritas (81,70%), diikuti Kristen (15,87%), Buddha (2,10%), Hindu (0,22%), dan Konghucu (0,11%). Keberagaman ini membentuk wajah sosial Serpong yang inklusif.
Bagi sebagian orang yang tumbuh di Serpong sebelum era pembangunan masif, perubahan ini menghadirkan rasa campur aduk. Jalan tanah yang dulu lengang kini diganti aspal dan lalu lintas padat. Kunang-kunang yang menemani malam berganti cahaya lampu kota.
Namun, di balik gedung-gedung tinggi, aroma tanah basah setelah hujan, suara tawa di gang sempit, dan kenangan masa kecil tetap hidup di hati warganya. Serpong bukan hanya titik di peta, melainkan bagian dari identitas dan perjalanan hidup.
Serpong adalah contoh nyata bagaimana sebuah wilayah dapat berubah drastis tanpa melupakan sejarahnya. Dari rawa dan hutan karet, menjadi pusat perlawanan kemerdekaan, hingga kota mandiri modern yang memimpin pertumbuhan ekonomi Tangerang Selatan. Di setiap sudutnya, Serpong menyimpan kisah masa lalu yang layak dijaga, sambil menatap masa depan yang terus berkembang.