Ia menyebut ada 1.824 kawasan perumahan di wilayah Bodetabek yang seharusnya dilayani angkutan umum. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.582 di antaranya merupakan perumahan kelas bawah, yang membutuhkan angkutan penghubung (feeder) ke stasiun KRL, LRT, atau halte Transjabodetabek.
“Dulu sebelum era 1990-an, setiap pembangunan perumahan pasti dibarengi layanan angkutan umum, entah itu angkot, bus umum, atau Damri. Tapi sekarang, layanan itu menghilang, meskipun perumahannya masih ada,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kelemahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang tidak mewajibkan ketersediaan transportasi umum sebagai bagian dari fasilitas umum.
Baca Juga: Pengamat Sebut Gaji Rp10 Juta Tak Cukup untuk Warga Bekasi
“Undang-undang itu perlu direvisi. Harus ada kewajiban pembangunan perumahan disertai dengan penyediaan fasilitas transportasi publik,” ucap dia.
Menurutnya, ketidaksinkronan antara pembangunan perumahan dengan layanan angkutan umum menjadi akar masalah mahalnya ongkos mobilitas masyarakat di Jabodetabek. Warga pun terpaksa bergantung pada kendaraan pribadi dan ojek.
“Lihat saja komposisinya sekarang. Angkutan umum hanya 2 persen, mobil 23 persen, dan sepeda motor 75 persen. Ini akibat tata ruang yang semrawut. Jadi jangan heran kalau biaya transportasi warga Bekasi paling tinggi di Indonesia,” katanya. (CR-3)