Kisah Pilu Pak Tarno: Dicap Pengemis demi Bertahan Hidup, Nasibnya Kini Jadi Sorotan Publik (Sumber: Instagram)

HIBURAN

Sering Dibilang Pengemis, Pak Tarno Buka-Bukaan Soal Perjalanan Hidup yang Penuh Luka

Sabtu 02 Agu 2025, 09:13 WIB

POSKOTA.CO.ID - Bagi generasi 2000-an, nama Pak Tarno tentu bukan sosok yang asing. Ia bukan hanya seorang pesulap biasa, melainkan simbol hiburan masa kecil yang membekas kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.

Melalui ajang pencarian bakat The Master pada tahun 2009, pria kelahiran 1951 ini mencuri perhatian publik dengan penampilannya yang sederhana namun penuh kejutan.

Jargon khasnya, “Simsalabim jadi apa... prok prok prok!”, bukan hanya memancing tawa, tapi menjadi ciri khas yang melekat kuat hingga kini.

Meski tak keluar sebagai juara, ia mendapat gelar kehormatan Master of Traditional Magic dari Deddy Corbuzier sebuah pengakuan terhadap kontribusinya dalam memperkenalkan seni sulap gaya kampung kepada publik luas.

Baca Juga: 108 Mantan Kades di Pandeglang Bakal Dilantik Kembali Sesuai SE Mendagri

Popularitas yang Tidak Abadi

Namun, seperti halnya panggung hiburan, popularitas bukanlah sesuatu yang abadi. Setelah masa kejayaannya berlalu, nama Pak Tarno perlahan memudar dari layar kaca. Dunia hiburan berubah, selera penonton bergeser, dan sorotan kamera pun beralih ke sosok-sosok baru.

Kondisi itu menjadi titik balik yang berat. Di usia senja, ketika banyak orang menikmati masa pensiun, Pak Tarno justru harus berjuang mempertahankan hidupnya. Ia pernah mengalami keterpurukan finansial yang membuatnya berjualan keliling demi menyambung hidup. Bahkan sempat tersiar kabar bahwa ia bangkrut, hidup dalam kesederhanaan yang jauh dari gemerlap masa lalu.

Bantuan Tak Terduga dari Generasi Muda

Di tengah kesulitan itu, datanglah uluran tangan dari generasi yang lebih muda—Willy Salim, selebritas konten kreator yang kini juga dikenal sebagai dermawan. Dalam salah satu tayangan YouTube Intens Investigasi, Pak Tarno mengaku bahwa dirinya diberikan bantuan langsung oleh Willy Salim sebesar Rp50 juta.

Dari total dana tersebut, Rp25 juta ia gunakan sebagai modal dagang, sementara sisanya ia pakai untuk menyewa kontrakan tempat berjualan. Kini, ia berdagang di depan rumah kontrakan tersebut, tanpa harus berkeliling seperti dulu.

Kebahagiaan yang Sederhana

Banyak orang mengukur kebahagiaan dari pencapaian besar, namun tidak bagi Pak Tarno. Dengan keuntungan harian sekitar Rp100 ribu dari berdagang, ia mengaku sudah merasa sangat bersyukur. Di usianya yang telah mencapai 74 tahun, ia tidak lagi mengejar ketenaran atau materi, melainkan ketenangan dan keberlangsungan hidup yang layak.

Antara Simpati dan Cibiran

Tak dapat dipungkiri, kisah Pak Tarno kembali menjadi bahan perbincangan di media sosial. Banyak warganet bersimpati, namun tak sedikit pula yang menyindir atau bahkan mengejeknya.

Kalimat itu bukan hanya pernyataan, tetapi bentuk kedewasaan emosional dari seseorang yang telah kenyang makan asam garam dunia hiburan. Ia tidak lagi butuh validasi dari publik. Yang terpenting, ia tetap bisa hidup dengan cara yang jujur dan mandiri.

Di era internet dan budaya viral, banyak tokoh publik yang kerap direduksi menjadi sekadar bahan candaan. Pak Tarno pun sempat menjadi salah satu di antaranya, dengan jargonnya yang banyak dijadikan meme. Namun di balik semua itu, ada manusia yang nyata dengan perasaan, kebutuhan, dan perjuangan.

Melihat Pak Tarno hanya dari sisi hiburan berarti mengabaikan seluruh kisah perjuangan dan nilai-nilai hidup yang ia bawa. Ia adalah representasi dari ribuan seniman Indonesia yang mengabdikan hidupnya pada seni, namun terlupakan ketika sorotan meredup.

Baca Juga: Pria Tanpa Identitas Tewas Tertabrak Kereta di Kembangan Jakbar

Mencari Makna dalam Usia Senja

Perjalanan hidup Pak Tarno memberi kita pelajaran penting tentang keuletan, keikhlasan, dan keberanian untuk memulai kembali dari titik nol. Di usianya yang tidak lagi muda, ia tidak menyerah pada keadaan. Ia tetap bekerja, tetap tersenyum, dan tetap percaya pada kebaikan sesama manusia.

Bantuan dari Willy Salim pun bukan hanya soal uang, tetapi simbol solidaritas antargenerasi. Ketika anak muda mengulurkan tangan untuk membantu yang lebih tua, di sanalah nilai kemanusiaan hidup dan berkembang.

Kisah Pak Tarno juga menyentil kesadaran kolektif masyarakat. Sudahkah kita menghargai para seniman yang membentuk budaya populer kita? Apakah kita hanya memuja mereka saat mereka berada di puncak, lalu meninggalkan saat mereka terpuruk?

Perlakuan terhadap figur seperti Pak Tarno seharusnya menjadi cerminan sejauh mana kita mampu menjadi bangsa yang menghormati dedikasi dan jasa orang-orang yang menghibur kita di masa lalu.

Pak Tarno bukan sekadar pesulap dengan jargon lucu. Ia adalah simbol ketekunan, ketulusan, dan semangat pantang menyerah. Ia menunjukkan bahwa meskipun waktu dan keadaan bisa berubah, identitas seseorang tidak ditentukan oleh popularitas, melainkan oleh nilai-nilai yang ia pegang teguh hingga akhir hayat.

Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap tawa yang kita nikmati di layar kaca, ada manusia yang berjuang. Dan mereka, seperti Pak Tarno, layak mendapat lebih dari sekadar nostalgia mereka layak untuk dihormati.

Tags:
Pak Tarno sekarangWilly Salim bantu Pak TarnoThe Master IndonesiaPesulap tradisional IndonesiaPak Tarno

Yusuf Sidiq Khoiruman

Reporter

Yusuf Sidiq Khoiruman

Editor