Bendera One Piece Disebut Simbol Pemberontakan? Gus Dur: Boleh Asal Jangan Lebih Tinggi dari Merah Putih

Jumat 01 Agu 2025, 07:20 WIB
Bendera One Piece Dianggap Simbol Pemberontakan? Ini Penegasan Gus Dur soal Pengibaran Simbol Asing di Indonesia

Bendera One Piece Dianggap Simbol Pemberontakan? Ini Penegasan Gus Dur soal Pengibaran Simbol Asing di Indonesia

POSKOTA.CO.ID - Mendekati perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025, media sosial Indonesia justru dihebohkan dengan sebuah fenomena visual yang tak biasa berkibarnya bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece di berbagai kendaraan umum, mulai dari truk pengangkut barang hingga motor bak terbuka.

Foto dan video bendera berlogo tengkorak tersenyum ini tersebar masif di TikTok, Instagram, hingga Twitter (X). Namun, yang menjadikan tren ini lebih dari sekadar viral adalah narasi sosial dan interpretasi budaya yang mengiringinya.

Baca Juga: Obrolan Warteg: BUMD Bakal Naik Kelas, BUMN?

Bendera One Piece: Simbol Bajak Laut atau Kritik Sosial?

Secara permukaan, bendera One Piece adalah lambang kelompok bajak laut dalam serial manga dan anime karya Eiichiro Oda. Namun, jika ditelaah lebih dalam, Topi Jerami dan kru-nya tak selalu digambarkan sebagai penjahat, melainkan tokoh yang melawan ketidakadilan sistemik di dunia fiktif mereka.

Seorang warganet dengan akun @c77roalves menuliskan refleksi mendalam:

“Di dunia One Piece, para bajak laut bukan sekadar penjahat. Banyak dari mereka justru jadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tirani, dan kekuasaan yang sewenang-wenang... Mungkin itulah kenapa sekarang banyak rakyat Indonesia yang ‘mengibarkan’ bendera One Piece.”

Narasi ini menjadi cerminan dari keresahan sosial, di mana simbol dari fiksi bisa menjadi bentuk ekspresi atas kondisi nyata yang dirasakan sebagian masyarakat: ketidakpuasan terhadap sistem, birokrasi, atau struktur kekuasaan.

Antara Ekspresi Budaya dan Kekhawatiran Publik

Namun, tak semua menyambut tren ini dengan antusias. Beberapa netizen mengungkapkan kekhawatiran bahwa pengibaran bendera anime dalam momen sakral kenegaraan bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan mendapat respons represif.

@Rudeboy menulis:

“Please jangan lakuin, gue cuma takut di-notice pemerintah. Nanti One Piece malah diblokir sama Kominfo kayak Anoboy.”

Komentar ini mencerminkan kecemasan kolektif masyarakat digital, yang menyadari betapa tipisnya batas antara kebebasan berekspresi dan risiko sensor di era digital saat ini.

Ledakan Penjualan dan Ekspresi Massa

Tren visual ini ternyata turut berdampak pada sisi ekonomi informal. Akun @ARIF PJN menyoroti peningkatan penjualan atribut anime:

“Seketika penjual bendera One Piece meningkat drastis.”

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kultur populer mampu menciptakan peluang ekonomi di luar dugaan, terutama di momen menjelang HUT RI yang biasanya didominasi atribut Merah Putih dan ornamen nasionalis.

Namun, tidak semua pihak kehilangan arah dalam euforia. Komentar dari netizen @mas bre memberikan pengingat:

“Silakan mau pasang bendera apa pun, tapi tolong jangan sampai lebih tinggi dari Merah Putih. Karena Merah Putih bukan simbol pejabat, tapi simbol bangsa ini.”

Gus Dur dan Semangat Toleransi Ekspresi

Di tengah debat publik yang memanas, kutipan dari Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali mencuat sebagai rujukan moral dan intelektual:

“Kalian boleh mengibarkan bendera lain, tapi jangan lebih tinggi dari Merah Putih.”

Kutipan ini menjadi ruang tengah yang bijak, memberi tempat pada ekspresi kultural masyarakat selama tetap menjaga kehormatan terhadap simbol negara. Dalam konteks Indonesia yang plural, ucapan Gus Dur menjadi pengingat bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal politik, tapi juga ruang untuk berekspresi secara damai dan berbudaya.

Perspektif Unik: Apa yang Diungkap Fenomena Ini?

Dari kacamata humanistik, viralnya bendera One Piece di tengah perayaan kenegaraan bukan semata soal fandom anime. Ia merefleksikan tiga lapisan realitas sosial:

  1. Kerinduan akan keadilan: Masyarakat, terutama generasi muda, menggunakan medium pop culture sebagai bahasa baru untuk menyuarakan kritik sosial.
  2. Kreativitas dalam keterbatasan: Di tengah stagnasi politik atau pembatasan ekspresi, rakyat memilih simbol alternatif untuk menyampaikan isi hati, seperti bendera bajak laut.
  3. Kekuatan budaya lintas batas: Fiksi Jepang bisa menjadi alat komunikasi universal, menyentuh emosi dan identitas kolektif lintas negara, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Gemini Jumat, 1 Agustus 2025: Rejeki Bertambah dan Tubuh Merasa Lebih Sehat

Simbol Bukan Musuh: Pentingnya Literasi Visual

Penting untuk diingat, simbol tak selalu bermakna tunggal. Di tangan pemilik kekuasaan, simbol bisa menjadi alat dominasi. Tapi di tangan rakyat, ia bisa berubah menjadi sindiran, ekspresi harapan, bahkan perlawanan damai.

Maka, daripada buru-buru mengutuk tren ini sebagai bentuk "tidak nasionalis", akan lebih bijak jika kita membaca fenomena ini secara kontekstual dan bijaksana.

Menjelang 17 Agustus 2025, kibaran bendera Merah Putih akan tetap menjadi pusat peringatan dan refleksi nasional. Namun, hadirnya bendera One Piece di antara kendaraan rakyat juga menjadi bagian dari narasi zaman bahwa generasi hari ini memilih cara unik, bahkan absurd, untuk menyampaikan isi hati mereka.

Fenomena ini bukan bentuk pemberontakan, tapi pencarian makna kemerdekaan yang lebih dekat dengan realitas sosial. Dan jika ekspresi itu datang dari fandom anime, mungkin itu tanda bahwa budaya populer telah menjadi bahasa rakyat di era digital ini.


Berita Terkait


News Update