“..sikap sopan santun, ramah, toleran, dan tidak menghujat sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, hendaknya ikut diwariskan para tokoh politik dari generasi ke generasi, selain kebijakan monumental untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat,” kata Harmoko.
Kita sering dengar istilah warisan yang bukan hanya berarti peninggalan harta benda dari orangtuanya, kakek neneknya.
Ada juga warisan alami sebagai berkah ilahi bagi bangsa Indonesia berupa kekayaan alam yang terbentang luas dari Sang hingga Merauke. Negeri yang gemah ripah loh jinawi – negeri yang subur makmur dan sejahtera.
Warisan tak hanya berupa harta benda atau bersifat kebendaan, tetapi juga budaya, perangai, tingkah laku dan karakter.
Baca Juga: Kopi Pagi: Anak Hebat Bermartabat
Dalam dunia politik, dikenal juga warisan politik dari tokoh bangsa, pendiri bangsa serta tokoh politik setelah masa jabatannya berakhir. Warisan politik bisa berupa kebijakan yang pernah dibuat, reputasi yang telah dibangun di masa jabatannya.
Dapat dimaknai warian politik adalah jejak langkah selama tokoh politik itu menjabat. Ini menyangkut reputasi, prestasi dan citra. Boleh jadi pengaruh politiknya hingga era kini yang masih dikenang publik.
Cukup beralasan jika para tokoh politik, pejabat publik (yang dipilih oleh rakyat) ingin membangun kebijakan yang merakyat, memihak kepada rakyat agar setelah tidak lagi menjabat, masih dikenang rakyat.
Ini langkah positif , dan semakin simpatik jika kebijakan yang dilakukan adalah sangat mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperbaiki tata layanan kepada masyarakat, meletakkan pondasi dalam tata kelola layanan sosial kemasyarakatan, kesehatan dan pendidikan guna meningkatkan kualitas SDM yang mumpuni menyongsong era apa pun dan kapan pun.
Ini sejatinya kebijakan yang monumental, karena meletakkan pondasi tata kelola pemerintahan dalam melayani masyarakat dalam upaya membangun daerahnya.
Jika kebijakan ini telah teruji mampu mendongkrak perekonomian daerah, meningkatkan gairah hidup masyarakat, mestinya diteruskan dan ditingkatkan. Namun, tak sedikit kebijakan ini diubah oleh pejabat penggantinya dengan berbagai alasan. Karena kita tahu, pejabat yang baru juga ingin sesuatu hal yang baru, dikenang publik. Dan, tak sedikit pula pejabat baru ingin menghapus jejak langkah pendahulunya, kemudian menggiring publik masuk kepada kebijakan baru, yang dinilai lebih baik.
Pernyataan akan meneruskan kebijakan pejabat sebelumnya, acap sebatas slogan. Rakyat tentu akan mendukung program yang sudah baik diteruskan dan ditingkatkan, yang jelek disingkirkan. Kebijakan baru harus lebih baik dari sebelumnya, tetapi bukan lantas menggusur warisan politik pejabat sebelumnya demi kepentingan politik sesaat , setidaknya periode berikutnya.
Baca Juga: Kopi Pagi: Politik Balas Budi
Ada kecenderungan pejabat publik ingin mencitrakan diri secara instan agar dikenang masyarakat melalui politik monumen, bukan kebijakan mendasar dalam tata kelola pemerintahan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat masa sekarang dan mendatang.
Membangun gedung atau taman megah, di dalamnya terdapat monumen dirinya, setidaknya namanya terpatri dalam prasasti acap menjadi pilihan, ketimbang memperbaiki irigasi , membangun infrastruktur dasar bagi kegiatan perekonomian rakyat.
Alasannya dapat ditebak, dengan membangun monumen seperti disebutkan tadi, lebih cepat dikenal karena publik dengan mudah dapat melihatnya. Namanya akan tetap terukir sepanjang gedung itu berdiri, lepas bangunan itu sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat atau tidak.
Tak soal, gedung atau bangunan itu pada akhirnya tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Itu fenomenal, tetapi bukan hal yang positif. Boleh jadi politik monumen tercapai, tetapi tidak monumental.
Rakyat tak mempersoalkan untuk menggaet simpati publik dengan menggunakan atraksi politik monumen atau pencitraan. Itu sah – sah saja, tebar pesona dalam dunia politik merupakan dinamika dalam menggaet dukungan.
Yang tidak boleh diwariskan adalah menebar kebencian dan permusuhan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Jangan karena mengatasnamakan " freedom of speech", kemudian kebablasan menjadi hujatan.
Dalam adat budaya ketimuran, sebagaimana tercermin dalam butir - butir Pancasila, terdapat sikap sopan santun, ramah, toleran, dan tidak menghujat sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Adat budaya bangsa ini pula yang hendaknya ikut diwariskan para tokoh politik dari generasi ke generasi, selain kebijakan yang monumental untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Jangan wariskan politik penuh keburukan, rekayasa, tipu daya kepada generasi mendatang. (Azisoko)