Jika dilihat lebih jauh, wacana pembatasan VoIP tidak hanya bicara soal ketimpangan kontribusi. Ini menyentuh aspek yang lebih mendalam: keadilan digital.
Dalam dunia di mana informasi dan komunikasi menjadi hak dasar, pembatasan akses justru bisa membuka pintu ketidaksetaraan baru. Apalagi di era pasca pandemi, banyak aktivitas vital — dari sekolah, rapat kerja, hingga pelayanan publik — dilakukan lewat VoIP.
Ancaman terhadap Inklusivitas dan Inovasi
1. Gangguan terhadap Ekonomi Digital
Indonesia tengah mendorong transformasi digital dan ekonomi kreatif. Banyak pelaku usaha UMKM, freelancer, dan tenaga kerja remote yang mengandalkan VoIP untuk klien internasional. Pembatasan akan menurunkan daya saing mereka.
2. Pendidikan dan Kesehatan Terganggu
Sekolah daring dan telemedicine bergantung pada layanan seperti Zoom dan Google Meet. Jika dibatasi, masyarakat di wilayah terpencil akan kembali terisolasi secara digital.
3. Isu Censorship Terselubung
Sebagian pihak khawatir bahwa pembatasan ini menjadi pintu masuk bagi regulasi internet yang lebih ketat dan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat.
Alternatif Solusi yang Lebih Berkeadilan
Daripada membatasi akses, banyak pihak menyarankan pendekatan yang lebih progresif:
- Penerapan Pajak Layanan Digital Secara Proporsional
OTT bisa diwajibkan membayar pajak lokal berdasarkan jumlah trafik dan pengguna di Indonesia. - Kolaborasi Infrastruktur
Pemerintah dan penyedia OTT bisa membentuk kerjasama dalam pembangunan infrastruktur digital yang transparan dan mutualistik. - Subsidi Silang atau Dana Kompensasi
Seperti di negara-negara Skandinavia, penyedia layanan digital diminta kontribusi khusus untuk pengembangan wilayah terpencil.
Belajar dari Negara Lain: Pembatasan Bukan Jawaban
Beberapa negara yang mencoba membatasi VoIP seperti Uni Emirat Arab atau Mesir justru menghadapi kritik internasional dan kerugian ekonomi. Sebaliknya, negara-negara seperti India dan Brasil memilih mengatur OTT lewat kebijakan perpajakan dan kolaborasi strategis tanpa membatasi akses.
Baca Juga: 5 Level Manusia dalam Game Kapitalisme Kehidupan Menurut Timothy Ronald
Suara dari Lapangan: “Kami Butuh Solusi, Bukan Sensor”
Bayu, seorang desainer grafis freelance asal Semarang, mengaku 90% kliennya berasal dari luar negeri.
“Saya komunikasi lewat Google Meet dan Zoom tiap hari. Kalau dibatasi, saya kehilangan pekerjaan. Masak pemerintah lebih mikirin untung operator daripada rakyat?” — Bayu, 32 tahun
Sementara itu, Fitri, guru honorer di Sumba Barat, mengatakan Zoom adalah satu-satunya jalan mengakses pelatihan daring.
“Kalau dibatasi, bagaimana kami bisa belajar dan mengajar dengan baik? Akses ini bukan mewah, tapi kebutuhan.” — Fitri, 27 tahun