POSKOTA.CO.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP) menjadi tulang punggung komunikasi global.
Di tengah era digital yang serba terhubung, layanan seperti WhatsApp Call, Zoom, Google Meet, dan Telegram bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan pokok.
Namun, wacana yang dilontarkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) soal pembatasan layanan VoIP mengusik kenyamanan ini.
Baca Juga: Quotes Timothy Ronald: Kekayaan Dibangun oleh Disiplin dan Kesabaran, Bukan Kejeniusan Semata
Apa Itu Teknologi VoIP?
VoIP adalah teknologi yang memungkinkan pengguna melakukan panggilan suara dan video melalui internet, bukan jaringan telepon konvensional. Suara diubah menjadi sinyal digital, dikirimkan lewat internet, lalu dikonversi kembali menjadi suara di sisi penerima.
Ada empat bentuk utama dari teknologi VoIP:
- ATA (Analog Telephone Adapter) – Alat penghubung telepon analog ke jaringan internet.
- IP Phone – Telepon khusus yang terhubung langsung ke internet.
- Softphone – Aplikasi seperti WhatsApp, Zoom, Google Meet.
- WebRTC – Teknologi VoIP berbasis browser tanpa aplikasi tambahan.
Alasan Pemerintah: Ketimpangan Infrastruktur Digital
Denny Setiawan, Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Komdigi, mengungkapkan keprihatinannya tentang ketimpangan antara operator seluler dan penyedia layanan OTT (Over The Top) seperti WhatsApp dan Zoom. Menurutnya, operator harus mengeluarkan investasi besar untuk membangun infrastruktur, sementara OTT hanya “menumpang” tanpa kontribusi.
“Yang berdarah-darah bangun infrastruktur itu operator. OTT nggak kontribusi,” — Denny Setiawan, Komdigi
Reaksi Publik: Akses Komunikasi Bukan Hak Istimewa
Pernyataan Denny langsung memicu reaksi publik, terutama di media sosial. Banyak yang menilai bahwa wacana ini tidak adil karena rakyat justru sudah ikut menanggung beban pembangunan infrastruktur lewat:
- Pulsa dan paket data yang dikenakan biaya cukup tinggi
- Pajak digital yang telah diterapkan pada layanan OTT
- Kontribusi USO (Universal Service Obligation) yang semestinya dialokasikan untuk membangun akses digital di pelosok
Salah satu komentar yang viral menyebut:
“Masalahnya bukan di OTT-nya, tapi di transparansi dana infrastruktur itu sendiri. Dana USO kita malah sempat dikorupsi dalam kasus BTS Rp 6 triliun.” — @F2aldi, pengguna Twitter