Ilustrasi, toko beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur. (Sumber: Poskota/Pandi Ramedhan)

Nasional

Heboh Beras Oplosan, Pengamat IPB: Praktik Lumrah, asal tidak Tipu Konsumen

Rabu 16 Jul 2025, 22:10 WIB

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso, menyoroti isu adanya produsen besar yang melakukan pengoplosan beras premium dengan beras standar.

Setidaknya ada 212 merek beras yang diduga dioplos dan sedang ditangani oleh Satgas Pangan Polri bersama Kementerian Pertanian (Kementan).

"Praktik mengoplos beras sudah menjadi hal lumrah di kalangan pedagang,” ujar Dwi Andreas, kepada Poskota, Rabu, 16 Juli 2025.

"Di toko-toko beras, harga bervariasi, mulai dari Rp9.000 hingga di atas Rp15.000 per liter, untuk membuat harga lebih terjangkau, pedagang sering mencampur beras berkualitas tinggi dengan beras yang lebih murah atau menir," katanya.

Selain untuk menyesuaikan harga, kata Dwi Andreas, pencampuran juga bisa dilakukan untuk menyeimbangkan rasa. Seperti mencampur beras kurang wangi dengan beras pandan wangi agar lebih disukai konsumen.

Baca Juga: Mayoritas Pedagang di PIBC Bungkam Usai Anggota DPRD Jakarta Diduga Main Beras Oplosan Viral

Dia menegaskan bahwa praktik pengoplosan tidak selalu merusak kualitas, melainkan bergantung pada jenis pencampuran.

“Kalau oplosan antar kualitas, misalnya beras premium seperti Inpari 32 atau Mekongga dicampur karena memiliki karakteristik serupa, itu tidak masalah. Bahkan menir pun bukan barang asing, itu tetap beras,” jelas Dwi Andreas.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menilai isu oplosan kerap disalahartikan, terutama ketika dikaitkan dengan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).

Dwi menepis narasi bahwa beras SPHP, yang dikemas dalam 5 atau 10 kilogram, dioplos untuk merugikan negara.

“SPHP hanya 180 ribu ton, dan kemasannya sudah jelas. Sulit rasanya untuk membongkar dan mengoplosnya. Isu ini seolah dibesar-besarkan,” ungkap Dwi Andreas.

Terkait regulasi, Dwi Andreas mengatakan, tidak ada larangan resmi terhadap praktik oplosan. Menurutnya, narasi bahwa oplosan merusak kualitas atau ada mafia beras seringkali menyesatkan.

Menurutnya, saat ini yang terpenting adalah menjaga keseimbangan agar konsumen mendapat beras berkualitas dengan harga terjangkau.

“Yang dilarang itu bukan oplosannya, tetapi jika ada penipuan atau pelanggaran standar kualitas yang merugikan konsumen,” tegas Dwi Andreas.

Baca Juga: Pengamat Sebut Dugaan Legislator Main Beras Oplosan Harus Diusut

Selain itu, Dwi Andreas juga menyoroti tantangan harga, di mana biaya produksi beras medium saat ini mencapai Rp13.888 per kilogram, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) tetap Rp12.500.

Untuk beras premium, biaya produksi bahkan mencapai Rp15.500, tetapi HET hanya Rp14.900. “Perusahaan besar dipaksa menurunkan harga di bawah biaya produksi. Ini yang membuat situasi sulit,” ungkap Dwi Andreas.

Dwi Andreas juga mengkritik tata kelola pangan nasional. Menurutnya perlu perbaikan di empat aspek utama, yaitu kebijakan berbasis waktu, kebijakan perdagangan yang tepat, manajemen stok pangan pemerintah, dan kerja sama antara sektor publik dan swasta

“Pemerintah hanya menguasai 10 persen stok beras nasional. Tanpa harmoni dengan swasta, sulit mengendalikan pasar,” kata Dwi Andreas.

Tags:
IPBDwi Andreas Santosoberas oplosan

Ali Mansur

Reporter

Mohamad Taufik

Editor