Protes tersebut mencapai puncaknya ketika Pondok Pesantren Besuk di Kabupaten Pasuruan mengeluarkan fatwa haram terhadap sound horeg karena dinilai menimbulkan kegaduhan dan mengganggu ketenangan lingkungan.
Fatwa tersebut mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur. Kendati demikian, saat ini belum ada regulasi khusus yang secara detail mengatur penggunaan sound horeg di ruang publik.
Situasi inilah yang memunculkan polemik, terutama dari pelaku usaha hiburan jalanan yang berpendapat bahwa tidak semua pertunjukan bersifat negatif atau bertentangan dengan nilai agama.
Baca Juga: Sejumlah SD Negeri di Kawasan Eks Tambang Emas Lebak Sepi Pendaftar, Apa Penyebabnya?
Upaya Mencari Titik Tengah
Emil Dardak menegaskan bahwa Pemprov Jatim tidak ingin mematikan kreativitas maupun sumber penghasilan para pelaku hiburan jalanan.
Oleh karena itu, regulasi yang sedang disusun diarahkan untuk menjadi jalan tengah: menjaga hak masyarakat atas ketenangan sekaligus tidak memutus mata pencaharian mereka yang menggantungkan hidup pada aktivitas tersebut.
Pendekatan yang ditempuh Pemprov Jatim adalah melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, hingga komunitas pelaku seni jalanan.
Harapannya, kebijakan yang lahir nanti dapat diterima oleh semua pihak dan benar-benar mampu meminimalkan potensi konflik.